Halal Haram Kripto dan Aplikasi Keuangan Syariah dalam Blockchain

Share :

Portalkripto.com — Indonesia masuk ke dalam daftar 20 negara pengadopsi kripto terbesar di dunia menurut survei Chainalysis. Jumlah investornya terus naik dari 2 juta orang pada 2020 menjadi 15 juta orang per Juli 2022.

Masifnya adopsi kripto di negara dengan penduduk beragama Islam terbanyak ini tentunya tak lepas dari pertanyaan terkait “apakah kripto halal?”

Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI menyatakan, kripto di Indonesia bukanlah alat pembayaran, melainkan komoditas yang regulasinya berada di bawah Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti). Aturan ini tercantum dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia nomor 17 tahun 2015.

Pandangan tersebut sejalan dengan fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kripto haram dijadikan sebagai alat pembayaran. Pernyataan ini merupakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-7 yang digelar 9-11 November 2021 di Jakarta.

MUI menyatakan, kripto haram sebagai alat pembayaran karena mengandung gharar (ketidakpastian) dan dharar (bisa merugikan).

Menurut MUI, kripto juga haram dijadikan aset/komoditas jika mengandung gharar, dharar, qimar (spekulatif), dan tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yakni ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, ada hak milik, dan bisa diserahkan ke pembeli.

Namun, kripto yang memenuhi syarat sil’ah tetap sah untuk diperdagangkan.

Sebelum ada fatwa tersebut, pandangan lain terkait halal haram kripto disampaikan dalam forum bahtsul masail yang digelar secara virtual pada 19 Juni 2021 lalu oleh Islamic Law Firm (ILF).

Forum yang digagas pendiri ILF Yenny Wahid dan mengundang banyak ulama serta pakar kripto itu sepakat bahwa dalam tinjauan fikih, gharar menjadi penentu apakah kripto halal untuk dipertukarkan.

Jika ada gharar maka tidak diperkenankan bagi umat Muslim, dan sebaliknya, jika tidak ada gharar maka diperbolehkan. Meski demikian, masyarakat tetap diimbau untuk tidak melakukan transaksi kripto jika tidak benar-benar memiliki pengetahuan mengenai aset tersebut.

Sistem Keuangan Syariah dalam Blockchain

Memasukkan sistem keuangan syariah ke dalam blockchain, yang memastikan segala unsur di dalamnya bersifat halal, bukan hal yang mustahil. Platform kripto Marhaba DeFi yang berbasis di Australia sudah melakukannya sejak 2020.

“Orang-orang memerlukan platform berisi token yang bisa mereka percaya untuk melakukan interaksi. Mereka tidak perlu mencoba banyak platform atau menemui cendekiawan Muslim dan pakar untuk menanyakan ‘Dapatkah saya berinvestasi di protokol ini, menggunakan token dan strategi ini?'” ujar pendiri dan CEO Marhaba DeFi Naquib Mohammed, kepada Cointelegraph

Ia mengungkapkan, saat ini pengguna aktif wallet multichain noncustodial mereka yakni Sahal Wallet, telah mencapai 40.000 sejak pertama kali diluncurkan. “Tinggal mengunduh wallet ini, dan semua hal mengenai ekosistem halal kripto tersedia di sini,” tambahnya.

Marhaba, yang bermakna ‘Selamat Datang’ dalam bahasa Arab, memiliki empat produk kripto yang sesuai dengan hukum Islam, yang akan dirilis tahun ini.

Produk pertama adalah TijarX, yang diklaim sebagai decentralized exchange (DEX) halal pertama di dunia. DEX ini juga memberikan layanan staking, pengumpulan likuiditas, dan marketplace NFT.

Kripto pertama yang akan diluncurkan bulan ini di TijarX DEX adalah token perak dan emas yang didukung oleh cadangan berupa emas batangan asli yang telah diaudit. Ada banyak token lain yang akan ditambahkan ke dalam platform tersebut, seperti token gandum, kedelai, dan kakao.

Mohammed memastikan seluruh hal yang dimasukan ke dalam platform telah terlebih dahulu melalui proses pemeriksaan. Dengan demikian, platform bisa dipastikan memiliki likuiditas yang cukup dan juga mematuhi hukum Islam.

“Jika bisnisnya tidak syariah, tidak halal, maka kami tidak dapat mencantumkan (kehalalan) di platform. Semua ini adalah proses yang sangat memakan waktu dan cukup intensif, tetapi kami baik-baik saja dengan itu,” jelasnya.

Produk selanjutnya adalah platform staking M.I.R.O. Produk ini membutuhkan waktu delapan bulan untuk dibangun karena sulit didesain sesuai dengan hukum syariah.

Platform ini mengacu pada konsep Islam Ju’ala, yang menurut Mohammed sama dengan rewards yang diberikan atas kerja seseorang. Pengguna mendapatkan “komisi” karena telah berpartisipasi dalam tata kelola dan memberikan voting pada proposal.

Ada pula platform Liquidity Harvester yang menggunakan aturan Mudarabah, yakni satu pihak menyediakan modal, sementara yang lain menyediakan tenaga kerja dan keduanya berbagi keuntungan dan kerugian.

Pada April lalu, Marhaba juga mengeluarkan sertifikasi Halal NFT pertama. Sertifikasi NFT ini adalah cara untuk mengesahkan, mengotentikasi, dan memastikan sertifikasi halal itu valid, dan tidak kedaluwarsa.

TijarX akan diluncurkan pada 27 September dan marketplace NFT pada akhir Oktober. Sedangkan M.I.R.O. dan Liquidity Harvester masing-masing dijadwalkan dirilis pada pekan pertama November dan Desember.

Melihat sifat fundamental blockchain yang transparan, sistem keuangan syariah dinilai sesuai diterapkan ke dalamnya. Kripto yang menggunakan sistem peer-to-peer payment tanpa adanya pihak ketiga juga dianggap lebih bebas riba dibandingkan dengan mata uang konvensional.

DISCLAIMER : Bukan ajakan membeli! Investasi atau perdagangan aset crypto masih beresiko tinggi. Artikel ini hanya berisi informasi yang relevan mengenai aset kripto tertentu.