Portalkripto.com — Perbincangan status halal haram cryptocurrency menjadi salah satu topik yang masih terus dibahas oleh para ulama dan sarjana Muslim di berbagai belahan dunia. Sebagai produk teknologi yang terbilang masih baru, telaah terhadap beberapa unsur pokok yang melekat pada cryptocurrency, terutama Bitcoin, terus digali.
Sejumlah individu dan lembaga otoroitatif keisalaman telah mengeluarkan pandangan dan fatwa mereka. Fatwa tersebut umumnya ditujukan untuk menjawab pertanyaan apakah cryptocurrency halal atau haram dengan jawaban yang berbeda-beda.
Ragam perbedaan pendapat ihwal halal haram suatu perkara ini merupakan hal biasa dalam khazanah fikih Islam. Bitcoin, atau cryptocurrency secara umum, bukan satu-satunya entitas yang status kebolehannya dinilai secara berbeda. Perbedaan pandangan ini menjadi salah satu unsur dialektika yang memperkaya perdebatan intelektual dalam khazanah fikih Isalm.
Beberapa kelompok mengharamkan cryptocurrency umumnya karena kripto dinilai tidak memiliki wujud fisik, mengandung unsur gharar (spekulatif), tidak memiliki underlying asset, tidak ada otoritas yang mengatur, bisa digunakan untuk aktivitas ilegal, tidak digunakan secara luas (Ta’āmul), dan tidak memperoleh persetujuan sosial (Istilah).
Beberapa pendapat lain manyatakan cryptocurrency halal dan sah untuk digunakan. Tidak adanya nilai instrinsik seperti mata uang fiat justru menjadikan cryptocurenncy, terutama Bitcoin, memiliki fitur khas yang berbeda dari komoditas yang harus punya nilai intrinsik. Adapun Ta’āmul dan Istilah menjadi kriteria yang diperlukan untuk disepakati bersama agar mata uang dapat dinilai sah secara syariah.
Cryptocurrency Haram
Pandangan bahwa Bitcoin haram bisa dibilang menjadi panorama arus utama dalam diskursus halal dan haram Bitcoin dari perspektif hukum Islam saat ini. Beberapa ulama dan lembaga fatwa Islam telah menyatakan Bitcoin atau cryptocurrency secara umum adalah haram, seperti yang dirangkum dalam catatan Analysis of Bitcoin, Cryptocurrency, and Blockchain dari Mufti Muhammad Abu-Bakar.
1. Ketua Komite Fatwa Dewan Islam Eropa – Syekh Haitham al-Haddad dari Inggris
Syekh Haitham berpendapat bahwa Bitcoin tidak diperbolehkan alias haram. Alasan pengharaman karena Bitcoin ataupun kripto lainnya dinilai sebagai mata uang yang tidak didasarkan pada nilai riil apa pun.
Di sisi lain, dia juga menganggap mata uang fiat arus utama tidak didasarkan pada nilai riil apa pun sejak perjanjian Bretton-Woods tahun 1971 yang melepaskan keterkaitan dolar dari emas. Namun, beda dengan uang fiat, cryptocurrency dinilai tidak terlalu stabil dan tidak memiliki otoritas yang mengatur ketersediaan aset cadangannya.
Syekh Haitham membuka ruang bagi adanya cryptocurrency yang halal, yakni jenis kripto yang didukung oleh emas. Dia juga tidak memperbolehkan penambangan Bitcoin karena aktivitas itu menghasilkan uang dari suatu ketiadaan.
2. Pusat Fatwa Palestina
Pusat Fatwa Palestina memberi fatwa haram terhadap Bitcoin dan juga cryptocurrency lainnya. Beberapa alasan pengharaman antara lain, pertama, penerbit Bitcoin tidak diketahui sehingga tak memiliki otoritas terpusat yang mengatur di belakangnya. Absennya otoritas itu membuat sistem pemantauan Bitcoin dinilai lemah dan oleh karena itu, tidak dapat dipercaya dan tidak bisa diandalkan.
Sedangkan alasan keduanya adalah pusat fatwa menilai Bitcoin merupakan sejenis perjudian. Pasalnya, orang-orang yang berinvestasi kepada Bitcoin tidak mengetahui dan memperoleh jaminan bahwa investasi tersebut akan berhasil.
3. Mufti Besar Mesir – Syekh Shawki Allam
Syeikh Shawki memandang Bitcoin sebagai haram. Beberapa alasan Bitcoin dianggap haram adalah, pertama, aset ini mudah digunakan untuk aktivitas ilegal; kedua, Bitcoin merupakan aset intangible (tak berwujud) dan hanya bisa digunakan lewat internet; ketiga, Bitcoin memungkinkan aktivitas pencucian uang, dan; keempat, tak ada otoritas sentral yang mengontrol Bitcoin dan malah menjadi antitesis bagi sistem otoritas bank sentral dan juga pemerintah.
4. Pemerintah Turki
Pemerintah Turki telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan Bitcoin haram lantaran unsur ketidakpastian yang berlebihan dan potensi untuk disalahgunakan oleh unsur kriminal.
Fatwa tersebut menyatakan:
“Jual beli mata uang virtual tidak sesuai dengan [aturan] agama saat ini. Karena fakta bahwa valuasi mereka [cryptocurrency] terbuka untuk spekulasi (gharar berlebihan), mereka dapat dengan mudah digunakan dalam kegiatan ilegal seperti pencucian uang dan mereka tidak berada di bawah audit dan pengawasan negara.”
Cryptocurrency Halal
Di luar pendapat yang menyatakan bahwa Bitcoin atau cryptocurrency haram, ada juga para sarjana Muslim yang memiliki perspektif berbeda. Secara umum kalangan ini berpendapat bahwa Bitcoin halal atau diperbolehkan untuk dimiliki dan digunakan.
1. Konsultan Keuangan Syariah – Mufti Faraz Adam
Chief Executive Officer (CEO) Amanah Advisors, lembaga konsultan keuangan syariah dan fintech yang berbasis di Inggris ini berpendapat bahwa Bitcoin memiliki unsur yang dibutuhkan sebagai mata uang. Bitcoin, menurutnya, akan menjadi mata uang selama orang menggunakan dan menukarnya. Akibatnya, Zakat akan diwajibkan pada Bitcoin karena sifat moneternya. Pandangan halal ini tidak mencakup perdagangan Bitcoin di pasar futures dan derivatif.
Dia mendebat pendapat yang menyatakan bahwa Bitcoin tak berwujud. Menurutnya, tidak semua ‘sesuatu’ mesti memiliki wujud fisik agar ia bisa disebut eksis. Eksistensi ‘sesuatu’. Menurutnya, beberapa ‘sesuatu’ eksis meskipun tidak memiliki dimensi badaniah yang teramati, misalnya emosi, pikiran, dan oksigen di atmosfer.
Dengan menyadur pandangan beberapa sarjana, dia mengemukakan keberadaan Bitcoin diregulasi melalui fitur, penggunaan, dan aksesnya melalui dompet digital. Bitcoin ada sebab ia bisa diakses melalui dompet digital.
Dia juga mendebat pandangan yang menyatakan bahwa Bitcoin sah sebagai aset, namun tidak sah sebagai mata uang. Pandangan ini menurutnya bersandar pada alasan bahwa Bitcoin tidak memenuhi unsur Ta’āmul (penggunaan luas) dan Iṣṭilāḥ (persetujuan sosial) sebagai mata uang. Dengan demikian, Bitcoin gagal menjadi mata uang.
Pendapatnya menyatakan bahwa setelan pabrik Bitcoin justru dirancang sebagai mata uang. Karena itu, Bitcoin berbeda dengan komoditas. Bitcoin tidak memiliki utilitas lain selain sebagai alat tukar. Persetujuan sosial dan penggunaan luas akan muncul ketika kegunaannya sebagai media pertukaran disepakati secara sosial.
Ketiadaan utilitas lain selain sebagai alat tukar inilah yang menurutnya memperkuat posisi Bitcoin sebagai mata uang. Untuk memperkuat pandangannya, dia mengutip pandangan Mufti Taqi Uthmani dalam An Introduction to Islamic Finance yang menyatakan bahwa “Uang tidak memiliki utilitas intrinsik, ia hanyalah alat tukar”.
Menurutnya, aset yang diadopsi sebagai mata uang namun memiliki utilitas lain, utilitas lain tersebut dianggap ma’dūm (tidak ada) saat aset tersebut dipertukarkan sebagai mata uang.
2. Konsultan Keuangan Syariah – Mufti Muhammad Abu-Bakar
Sosok mantan Penasihat Syariah untuk Blossom Finance ini berkesimpulan bahwa Bitcoin diperbolehkan karena dipandang sebagai sesuatu yang berharga dan tersedia di bursa mata uang serta merupakan media pembayaran yang diterima oleh sejumlah toko dan platform saat ini.
Dia berargumen bahwa kripto memang bersifat spekulatif, tetapi menurutnya unsur spekulatif ini terdapat pada semua mata uang sehingga hal tersebut tidak secara otomatis menjadikan kripto sebagai barang haram.
Dia berpendapat bahwa semua mata uang bersifat spekulatif sampai taraf tertentu karena sifat penawaran dan permintaan. Oleh karena mata uang fiat, emas, dan sebagian besar instrumen keuangan lainnya diperbolehkan berdasarkan Syariah, demikian juga seharusnya Bitcoin.
Terhadap argumen bahwa Bitcoin kadang-kadang digunakan untuk tujuan ilegal, Mufti Abu-Bakar berpendapat bahwa hal tersebut tidak membuat Bitcoin menjadi ilegal dengan sendirinya.
Untuk mendukung pandangannya, dia menyadur pandangan empat mazhab Sunni tentang status halal haram anggur saat diperdagangkan untuk bahan wine yang notabene haram.
“Secara umum, penggunaan sesuatu yang halal untuk tujuan yang haram tidak membuat barang itu sendiri haram. Dengan suara bulat, empat mazhab Sunni mengizinkan penjualan anggur yang halal. Maliki dan Hanbali menganggap penjualan anggur ke pedagang wine tidak boleh, sedangkan Hanafi dan Syafii hanya melarang penjualan semacam itu.”
Walau menganggap Bitcoin bisa dipandang sebagai mata uang, dia tidak menyarankan untuk menjadikan cryptocurrency sebagai instrumen investasi, seperti yang jamak dipraktikkan secara luas saat ini.
Dia menganggap tindakan menjadikan mata uang fiat atau digital sebagai alat investasi sama dengan memposisikan mata uang sebagai komoditas dagang. Hal ini menurutnya bertentangan dengan tujuan dasar mata uang.
3. Ketua Komite Syariah HSBC Amanah Malaysia Bhd – Ziyaad Mahomed
Ziyaad mengatakan teknologi baru yang ada pada cryptocurrency dapat digunakan untuk menguntungkan semua pihak dengan cara yang sah dan halal. Cryptocurrency dinilai memenuhi kriteria mata uang berdasarkan prinsip syariah.
Peneliti sekaligus dosen di International Center for Education in Islamic Finance (INCEIF) ini berpendapat bahwa mata uang tidak harus memiliki emas atau perak sebagai aset penopang atau penyimpan nilai. Meskipun logam mulia diakui sebagai alat tukar, topangan terhadap emas atau perak bukanlah persyaratan mata uang dalam kerangka syariah.
Seturut pandangan Mufti Fariz Adam, Ziyaad mengatakan kriteria yang diperlukan agar mata uang dapat dinilai sah secara syariah adalah mata uang harus mengandung unsur Istilah dan Ta’amul.
Perspektif yang mengatakan cryptocurrency bukanlah mata uang yang sah karena belum jadi legal tender di suatu negara atau diakui secara global menurutnya hanyalah sebuah norma konvensional. Dari perspektif syariah, mata uang adalah apa yang telah disepakati bersama, kata Ziyaad.
Dia juga secara implisit memaparkan mekanisme teknologis yang menjadi dasar penopang eksistensi cryptocurrency. Baginya, kripto tidaklah diciptakan dari ruang hampa dan tidak bisa diproduksi dan diedarkan seenak udel. Eksistensi makhluk kriptografis ini dimungkinkan dengan sejumlah curahan kerja yang termaktub dalam mekanisme pemecahan teka-teki matematis untuk membuka kunci sebuah blok kriptografis dan menghasilkan kripto.
Dia memandang legitimasi dan potensi keberlanjutan mata uang kripto didasarkan pada legitimasi teka-teki yang mendukungnya. Jika tidak ada teka-teki untuk dipecahkan, maka siapapun bisa membuat cryptocurrency dan menjualnya. Kondisi yang amburadul ini tentu membuat sustainabilitas ekosistem cryptocurrency sangat rentan.
Walau begitu, tak semua pandangan Ziyaad bernuansa suportif. Dia tetap bersikap kritis terhadap klaim-klaim yang tidak sepenuhnya solid. Dia misalnya, tidak setuju dengan para pendukung cryptocurrency yang mengatakan bahwa token digital ini tidak dapat digunakan untuk pencucian uang karena alasan transparansi blockchain.
Prosesnya memang transparan, kata Ziyaad. Semua orang bisa melacak deret kombinasi huruf dan angka alamat dompet digital yang merepresentasikan kepemilikan kripto. Tetapi pemilik jati diri pemilik cryptocurrency tidak benar-benar bisa diketahui. Kondisi ini menurutnya menyediakan celah bagi aktivitas-aktivitas haram dan ilegal.
Walau demikian, Ziyaad mengakui bahwa potensi kerentanan aktivitas haram ini tidak khas terjadi pada dunia cryptocurrency. Menurutnya aset apa pun memungkinkan dimanipulasi dan digunakan untuk hal-hal yang negatif.
Halal Haram Cryptocurrency di Indonesia
Ragam organisasi Islam besar yang ada di Indonesia juga telah mengeluarkan pandangan dan fatwanya berkenaan dengan aset kripto. Kebanyakan memvonis haram, meski ada juga yang mengatakan halal.
Ijtima Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-7 yang digelar pada November 2022 menyimpulkan penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang dan sil’ah atau komoditas haram, dengan pengecualian bagi aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta manfaat.
Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang keluar pada Januari 2022 menetapkan bahwa mata uang kripto haram, baik sebagai alat investasi maupun sebagai alat tukar.
Kripto haram sebagai aset investasi lantaran sifatnya dipandang spekulatif, dan mengandung gharar (ketidakjelasan). Selain itu, Bitcoin juga dinilai tak memiliki underlying asset (seperti emas dan barang berharga lain).
Kripto sebagai alat tukar juga disebut tak memenuhi dua syarat pokok: diterima masyarakat dan disahkan negara yang dalam hal ini diwakili bank sentral. Tapi, Muhammadiyah berpandangan penggunaan kripto sebagai alat tukar hukum asalnya adalah boleh.
Nahdlatul Ulama (NU) lewat sejumlah pendapat pengurus wilayah punya pandangan yang lebih dinamis dan heterogen berkenaan dengan status fikih cryptocurrency ini.
Salah satu pembahasan awal mengenai fikih kripto yang dapat ditemukan di kalangan ulama NU ialah dalam Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur tanggal 10-11 Februari 2018 di Tuban.
Hasil rembug ulama kala itu menyebut Bitcoin tergolong “harta virtual” serta “dapat dijadikan sebagai alat transaksi yang sah dan dapat dijadikan sebagai investasi.”
Pada Juni 2021, Bahtsul Masail ulama NU dengan Pendiri Islamic Law Firm (ILF) dan Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menyatakan bahwa kripto sah dipertukarkan sepanjang tidak terjadi gharar (ketidakpastian).
Pada Oktober 2021, PWNU Jawa Timur berbalik arah dengan memutuskan cryptocurrency adalah haram. Lebih jauh, disebutkan bahwa status cryptocurrency tidak bisa diakui sebagai komoditi dan tidak diperbolehkan.
Pada November 2021, PWNU Yogyakarta mengeluarkan pandangan bahwa aset kripto boleh dijadikan sebagai alat tukar maupun komoditi.
Fatwa Halal Haram Sudah Final?
Walau tidak bersifat positif dan mengikat, fatwa dikeluarkan melalui proses panjang dan sangat tidak mudah. Statusnya yang menjadi pedoman etik dan moral bagi masyarakat Muslim, membuat kedudukan fatwa bisa dibilang memiliki dimensi sakralitas tersendiri yang seharusnya tak disepelekan.
Kendati demikian, ia tidak bersifat final dan bisa berubah sesuai perkembangan situasi dan kondisi, meskipun sebaiknya bongkar pasang fatwa lebih baik dihindari agar tidak membingungkan masyarakat, menurunkan kredibilitas dan kepercayaan, serta menimbulkan kesan bermain-main dengan pedoman agama.
Walau beberapa sudah mengeluarkan fatwa, ada juga kelompok yang memilih menunda pandangan mereka tentang halal haram cryptocurrency. Menurut kelompok ini, cryptocurrency merupakan barang yang baru.
Karena itu kajian terhadapnya masih harus diperdalam. Terlebih, ada ribuan cryptocurrency yang memiliki fitur dan utilitas berbeda-beda yang membuat telaah terhadap makhluk kriptografis ini semakin kompleks.
Peneliti di International Shariah Research Academy for Islamic Finance, Farrukh Habib menilai bahwa aturan syariah dengan sistem pukul rata terhadap semua jenis cryptocurrency tidaklah tepat. Sejauh ini, menurut dia, pendapat-pendapat yang diutarakan sejumlah kalangan ulama dan sarjana Muslim lebih didominasi dengan fatwa tentang Bitcoin atau fatwa yang memukul rata semua cryptocurrency.
“Sebagian besar aturan syariah yang ada hanya berurusan dengan Bitcoin atau mencakup semua jenis cryptocurrency, mengabaikan kekhasan mereka,” kata Habib dikutip dari Al Jazeera.
Salah satu tokoh Muslim Amerika Serikat (AS), Nouman Ali Khan mengatakan segala tetek-bengek ihwal cryptocurrency ini merupakan subjek yang harus terus dipelajari. Dia mengaku sudah mencoba mempelajari topik ini. Hasilnya, semakin dalam ia mempelajari, semakin banyak pertanyaan yang ia temukan ketimbang jawaban. Jauh dari kata mudah memang, tapi harus diupayakan.
“Saya meneliti persoalannya. Saya bukan Mufti. Saya menemukan saya condong ke arah itu [cryptocurrency] bisa diterima, tapi saya masih mempelajarinya. Wallahu a’lam.”