Membandingkan Underlying Asset Kripto dan Uang Fiat dan Halal Haramnya Menurut Ulama

Share :

Portalkripto.com — Perkara underlying asset jadi salah satu unsur yang memberatkan langkah adopsi kripto di tanah air.

Anggapan bahwa kripto tidak memiliki underlying asset, membuat koin-koin blockchain diharamkan oleh sejumlah lembaga Islam sejauh ini, baik sebagai komoditas, apalagi sebagai alternatif mata uang.

Underlying asset adalah aset yang mendasari suatu instrumen yang dianggap berharga atau bernilai. Underlying asset ini biasanya disematkan kepada portofolio investasi keuangan atau juga terhadap uang.

Dalam uang fiat, yang kerap dirujuk sebagai underlying asset adalah jaminan bank sentral atau pemerintah. Sedangkan dalam saham, biasanya yang dirujuk adalah perusahaan.

Perusahaan yang menjadi underlying asset saham ini memiliki valuasi, yang mencerminkan harga saham.

Contohnya, underlying asset saham TSLA adalah perusahaan Tesla, yang memiliki valuasi sekitar 675 miliar dolar AS.

Underlying asset uang fiat

Secara de facto, uang fiat alias uang kertas modern yang saat ini jamak digunakan masyarakat tak memiliki underlying asset, meskipun pemerintah atau bank sentral kerap dirujuk sebagai underlying.

Uang tidak mewakili aset atau instrumen keuangan lain seperti properti atau emas. Artinya, uang fiat tidak memiliki nilai intrinsik seperti properti dan emas. Nilai pada uang ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk nominal. Pengguna hanya percaya dan menyepakati bahwa lembaran kertas uang tersebut merupakan barang berharga dan memiliki nilai tertentu.

Sebelum era uang fiat modern yang dikenal saat ini, uang memiliki underlying asset berupa emas. Artinya, setiap keping atau lembar uang yang beredar mewakili sejumlah tertentu emas yang terdapat di bank.

Uang berperan laiknya sertifikat kepemilikan emas. Namun lantaran persediaan emas menipis, sistem backing emas tersebut kemudian ditinggalkan.

Pada masa lampau, emas dan perak digunakan sebagai alat tukar atau uang secara langsung tanpa medium uang koin atau kertas. Contohnya adalah dinar dan dirham. Tak ada underlying asset uang logam mulia tersebut lantaran emas dan perak sudah dianggap sebagai barang berharga dan layak menjadi patokan nilai bagi barang-barang lain.

Underlying asset kripto

Sama halnya dengan uang fiat, kripto tak memiliki underlying asset karena tidak berpatok pada perusahaan atau benda berharga tertentu seperti emas dan perak.

Bila pada uang fiat underlying-nya kerap dirujuk pada jaminan pemerintah atau bank sentral, pada kripto, yang sering dirujuk sebagai underlying adalah teknologi blockchain.

Teknologi blockchain dipandang punya nilai tersendiri. Nilai itu dihasilkan dari manfaat teknologi blockchain. Blockchain merupakan teknologi yang menjanjikan efisiensi, transparansi dan biaya rendah dalam transaksi.

Setiap blockchain memiliki unit mata uang tersendiri. Blockchain Bitcoin memiliki mata uang Bitcoin (BTC), Ethereum memiliki Ethereum (ETH) sebagai mata uang. Selain transaksi uang, blockchain juga menunjang berbagai transaksi data dan informasi lainnya, bahkan dapat digunakan untuk merancang aplikasi via fitur smart contract.

Underlying asset dalam halal dan haram kripto

Walau sama-sama tak memiliki underlying berupa backing emas dan barang berharga lain, status halal haram terhadap kripto dan uang fiat ternyata berbeda.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya mensyaratkan kripto memiliki underlying agar sah untuk diperjualbelikan.

Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga mengharamkan Bitcoin sebagai aset lantaran dinilai tak memiliki underlying asset.

Beda nasib kripto dan uang fiat

Uang fiat dan kripto ini berbeda nasib dalam statusnya sebagai mata uang dan komoditas atau aset investasi.

Uang fiat telah diterima sebagai alat pembayaran yang sah. Uang fiat juga menjadi komoditas atau aset investasi yang dapat dipertukarkan di pasar keuangan.

Pertukaran mata uang dengan valuta asing alias trading forex dibolehkan sesuai fatwa MUI dengan beberapa syarat, termasuk tidak untuk spekulasi (untung-untungan) dan ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).

Bitcoin cs di sisi lain sudah didefinisikan sebagai komoditi oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Kementerian Perdagangan (Bappebti), namun statusnya fikihnya masih haram oleh beberapa lembaga.

Pemberian definisi komoditi oleh Bappebti ini membuat kripto legal diperdagangkan dari kacamata negara namun tidak boleh dari kacamata yang mengharamkan.

Kripto sah sebagai komoditas dan uang?

Dalam Shariah Analysis of Bitcoin, Cryptocurrency, and Blockchain, Mufti Muhammad Abu-Bakar memaparkan ada sebagian pendapat yang menyatakan bahwa kripto sah atau halal sebagai mata uang.

Pendapat itu bertopang pada kaidah dalam fiqih muamalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” yang artinya “hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Dengan kata lain, semua hal diperbolehkan kecuali ditemukan bahwa hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Berdasarkan pandangan ini, kripto pada prinsipnya diperbolehkan. Selain itu, semua benda juga dapat dianggap sebagai uang jika memiliki atribut berikut:

1. Diperlakukan sebagai hal yang berharga di antara orang-orang.

2. Diterima sebagai alat tukar oleh semua atau sekelompok besar orang.

3. Berlaku sebagai ukuran nilai.

4. Berfungsi sebagai unit penyimpanan.

Oleh karena itu, koin kripto apa pun yang memenuhi persyaratan tersebut, seperti Bitcoin, dapat diterima sebagai uang.

Faraz Adam, Kepala Amanah Advisors, konsultan keuangan syariah global berpendapat bahwa Bitcoin pada dasarnya memang diciptakan sebagai alat pembayaran peer to peer sehingga ditetapkan sebagai mata uang. Fakta bahwa orang menggunakannya sebagai aset investasi tidak meniadakan fitur mata uang Bitcoin yang justru membuatnya semakin mirip dengan mata uang di pasar keuangan.

Kegunaan Bitcoin sebagai alat transaksi dan komoditas investasi inilah yang membuatnya bernilai. Bila dua fungsi ini hilang, maka Bitcoin menurutnya hanya akan menjadi angka yang tidak berarti.

“Jika di masa depan mereka tidak lagi digunakan sebagai alat tukar dan juga tidak ada kenaikan spekulatif dalam harga mereka, apakah Bitcoin akan memiliki nilai di antara orang-orang?”