Menilik Utilitas Blockchain dan Aset Kripto: Menanggapi “Gambaran Kripto yang Dipermasalahkan” Gus Wahab

Share :

PENULIS: Dimaz Ankaa Wijaya*

Beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan terusan (forward) artikel yang cukup panjang dari salah satu grup WhatsApp yang saya ikuti.

Artikel tersebut menyebut bagaimana aset kripto disetarakan dengan batu-batu kerikil yang diambil dari halaman rumah penulis dan dijual dengan harga tinggi, yakni seratus juta rupiah. Sang pembeli ternyata berhasil menjual kembali batu kerikil tersebut kepada orang lain dengan harga yang lebih tinggi dari harga yang ia bayarkan, dan seterusnya hingga batu-batu kerikil tersebut bernilai hampir satu miliar rupiah.

Kemudian, setelah memberikan penjelasan aset kripto dalam dua bab (A dan B), penulis memberikan telaah atas dasar pandangan bahwa aset kripto serupa batu kerikil tersebut dari sudut pandang ilmu syariat pada bab C. Bab D mempertanyakan posisi aset kripto sebagai komoditas atau uang, terutama dalam kaitannya dengan regulasi mata uang yang berlaku di Indonesia. Bab E adalah bab terakhir yang berisi pendapat penulis bahwa nilai aset kripto yang tidak wajar karena dianggap tidak memiliki manfaat riil yang jelas.

Artikel tersebut jelas menggugah keinginan saya untuk meluruskan beberapa hal. Terutama karena sudah sejak tahun 2015 saya berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memberikan edukasi dengan benar kepada masyarakat Indonesia tentang teknologi blockchain, yang dimulai dari Bitcoin, dan kini telah menjadi industri dengan total nilai pasar sebesar USD2,6 triliun[1].

Pendapat saya ini hanya akan bersentuhan dengan beberapa poin saja dalam artikel tersebut yang kebetulan menjadi bidang keahlian saya, baik dalam kapasitas akademisi maupun praktisi. Sementara itu pelabelan aset kripto sebagai produk haram dan pembahasan ilmu syariah berada di luar lingkup pembahasan tulisan saya ini.

TONTON YUK: Blockchain, Web 3, Cryptocurrency; Siap-siap Hadapi Perubahan Besar!

Tujuan utama tulisan ini adalah untuk membangun dialog dengan sesama peneliti melalui tulisan runut yang didukung dengan referensi yang memadai, serta untuk memberikan sudut pandang berbeda dari tulisan milik Gus Wahab, terutama dari sisi teknologi. Tulisan ini tidak bermaksud menyudutkan pihak manapun dan tidak bertujuan untuk memberikan judgement atas keputusan yang telah diambil oleh pihak lain.

Aset Kripto Tidak Sama Dengan Batu Kerikil

Hal paling jelas yang harus saya sanggah dari artikel ini adalah penyetaraan aset kripto dengan batu-batu kerikil (artikel yang ditulis oleh Gus Wahab menggunakan kata “kripto” untuk mengacu pada cryptocurrency, tetapi saya akan konsisten dengan istilah “aset kripto” untuk membedakan antara cryptocurrency dan kriptografi yang biasa disingkat dengan kripto).

Aset kripto jelas berbeda dengan batu kerikil.

Aset kripto yang saya maksud di sini bukan semua aset kripto yang ada di dunia tentu saja. Untuk kepentingan penyederhanaan, aset kripto di sini akan mengacu pada aset kripto besar seperti Bitcoin dan Ethereum.

Tentu saja ada aset kripto yang serupa batu kerikil. Tidak punya manfaat dan nilai nyata. Ini dikarenakan barrier to entry (penghalang masuk) yang teramat rendah, sehingga semua orang bisa dengan mudahnya membuat token baru yang dijual meski tidak bernilai.  Tapi bukan berarti semua aset kripto diciptakan setara. Aset-aset kripto “serius” seperti Bitcoin dan Ethereum tidak seharusnya disamakan dengan aset kripto tanpa nilai yang jumlahnya luar biasa banyak di pasaran.

Aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum dikembangkan dengan usaha dan pengetahuan yang signifikan. Teknologi blockchain yang mendasari aset kripto dibangun dari teknologi informatika seperti jaringan komputer, basis data, dan tentu saja kriptografi.

Teknologi-teknologi fundamental ini saja tidak bisa disebut tanpa nilai dan tanpa manfaat. Apa jadinya dunia modern tanpa jaringan komputer (jaringan Internet)? Bagaimana perbankan dapat menembus batas fisik dengan menawarkan layanan Internet banking dan mobile banking tanpa campur tangan teknologi kriptografi?

Teknologi Blockchain

Teknologi blockchain adalah ramuan dari teknologi-teknologi tersebut dengan beberapa tujuan utama[2]:

  1. Mengamankan informasi dan memastikan bahwa informasi tidak berubah (integritas/integrity).
  2. Memastikan sinkronisasi data di antara peladen (server) yang terhubung dengan jaringan Internet dan memastikan bahwa data-data dalam peladen yang berbeda identik dan dapat diakses (ketersediaan/availability).
  3. Memastikan bahwa hanya pengguna yang berhak sajalah yang dapat mengolah data (autentikasi/authentication).
  4. Memastikan bahwa pengguna yang mengolah data tidak dapat mengelak dari perbuatan yang telah dilakukan (kenirsangkalan/non-repudiation).
  5. Memastikan bahwa semua perubahan data tercatat dengan rapi dan dapat diaudit (akuntabilitas/accountability dan auditabilitas/auditability).

Teknologi blockchain adalah produk akuntansi dengan steroid. Dengan menggunakan teknologi blockchain, seseorang dapat menyimpan informasi dengan aman karena dilindungi dengan lima karakteristik di atas (selanjutnya disebut lima karakteristik aman). Data yang disimpan di dalam blockchain dapat dijamin integritasnya. Data tersebut juga dapat diakses dari peladen mana saja yang tergabung dalam sistem blockchain yang sama.

Data tersebut juga hanya dapat diolah (diubah kondisi terakhirnya, misal bertambah atau berkurang) oleh pemilik yang sah. Pemilik tersebut, setelah melakukan pengolahan data, tidak dapat menyangkal perbuatannya. Kemudian, perubahan data dari awal hingga akhir dapat dilacak dengan mudah.

Dari penjelasan di atas terlihat dengan gamblang bahwa blockchain adalah inovasi teknologi yang bahkan dapat disandingkan dengan teknologi maju lainnya seperti kecerdasan buatan (kedua teknologi tidak identik tentu saja, karena berada pada bidang yang berbeda). Dan, tentu saja teknologi blockchain tidak jatuh dari langit, atau, tidak terbentuk secara alamiah seperti halnya batu kerikil di depan rumah seseorang.

Teknologi blockchain merupakan teknologi yang sangat maju dan kompleks. Coba saja baca dua buku saya yang bisa diunduh secara gratis di Google Playstore (tautan bisa ditemukan di https://kriptologi.com/buku/). Buku kedua saya misalnya, bisa memberikan gambaran kompleksitas sistem blockchain yang ada pada Bitcoin. Apabila masih kurang tertantang, ada baiknya mulai membaca kertas kuning (yellow paper) milik Ethereum[3].

Teknologi blockchain tidak hanya berteknologi tinggi tetapi juga membutuhkan tenaga, kepakaran, dan biaya untuk membangunnya. Hingga saat ini, Bitcoin memiliki tak kurang dari 100 ribu baris kode komputer[4] yang ditulis oleh banyak kontributor.

Perusahaan tempat saya bekerja sekarang merupakan salah satu kontributor utama dari aplikasi Ethereum 2.0, sehingga saya memiliki kesempatan untuk berinteraksi dengan para pemrogram yang punya kemampuan (expertise) sangat tinggi di bidangnya, serta dibayar mahal. Pengembangan perangkat lunak untuk Ethereum versi dua ini telah berjalan selama beberapa tahun. Produk ini nantinya menawarkan teknologi-teknologi baru yang lebih maju dan lebih efisien dalam menangani transaksi dibandingkan generasi sebelumnya.

Sebuah batu kerikil tentu tidak perlu dibuat oleh pegawai berkemampuan tinggi dan tidak perlu menggunakan teknologi tinggi pula.

Aset Kripto sebagai Blockchain Publik

Saya telah membahas teknologi blockchain sebagai teknologi modern yang bernilai inovasi tinggi. Lalu, apa hubungannya dengan aset kripto?

Aset kripto (lagi lagi, seperti Bitcoin dan Ethereum) dapat dipandang sebagai infrastruktur blockchain yang tersedia untuk publik. Aset kripto merupakan infrastruktur (platform) blockchain yang demokratis, yakni “dari publik, oleh publik, dan untuk publik”. Aset kripto disediakan oleh publik (partisipan) dan dapat digunakan oleh siapa saja.

Tentunya tidak semua orang boleh menggunakan infrastruktur yang mahal ini. Sama seperti jalan tol di Indonesia; pengguna harus membayar biaya tol untuk berkendara di sepanjang jalan tol. Mengapa? Karena jalan tol memiliki manfaat bagi pengendara. Jalan tol merupakan jalan alternatif berbayar, namun tetap banyak dimanfaatkan oleh pengendara mobil, truk, dan bus karena nilai manfaatnya dianggap lebih tinggi dibandingkan dengan jalan biasa.

Infrastruktur blockchain publik juga memiliki setidaknya lima manfaat yang telah dibahas sebelumnya. Infrastruktur blockchain publik menyediakan komputasi dan media penyimpanan digital bagi penggunanya. Artinya, seseorang boleh melakukan kalkulasi data dan menyimpannya di dalam blockchain, selama membayar biaya. Biaya tersebut tentu saja digunakan untuk memastikan infrastruktur tetap berjalan dengan semestinya.

Infrastruktur blockchain seperti Bitcoin merupakan infrastruktur yang mahal. Sangat mahal. Sebuah transaksi Bitcoin (anggap transaksi sebagai kalkulasi dan penyimpanan data) berbiaya hingga USD100[5]. Biaya ini diperlukan untuk memberikan jaminan lima karakteristik aman atas data tersebut. Tidak heran, biaya penggunaan infrastruktur blockchain publik jauh lebih mahal dibandingkan biaya penggunaan infrastruktur komputasi lain seperti komputasi awan (cloud computing) yang tidak memiliki lima karakteristik aman.

Crypto dan Currency: Peran Sistem Ekonomi dalam Blockchain Publik

Istilah cryptocurrency memiliki dua bagian: crypto berurusan dengan teknologi (kriptografi), sementara currency berhubungan dengan insentif ekonomi. Bagian teknologi telah tuntas dijelaskan, dan kini akan dibahas bagian ekonomi dari cryptocurrency.

Infrastruktur blockchain publik sangat menarik karena tidak dikendalikan oleh pihak sentral manapun. Artinya, infrastruktur ini harus berjalan sepenuhnya secara mandiri dan berbasiskan protokol komputer semata tanpa campur tangan berlebihan dari manusia. Untuk memastikan bahwa infrastruktur dapat berjalan secara kontinu dan berkelanjutan, perlu dibuat sebuah sistem ekonomi yang memberikan insentif pada penyedia jasa infrastruktur blockchain publik tersebut.

Sistem ekonomi tersebut tentu saja harus independen dari campur tangan manusia, dan dengan demikian muncullah sistem mata uang dalam infrastruktur blockchain publik, atau juga disebut sebagai aset kripto.

Aset kripto ini merupakan satu-satunya cara untuk membayar jasa penyedia infrastruktur dalam blockchain publik. Tentang bagaimana model emisi aset kripto ini dan sirkulasi aset kripto di dalam lingkup internal sistem blockchain publik, semuanya bergantung pada masing-masing sistem blockchain. Bitcoin misalnya, memilih sistem ekonomi Austrian[6] yang merupakan sistem deflasional, di mana pencetakan uang dilakukan secara terbatas.

Ada pula sistem blockchain yang menganut asas inflasional, di mana emisi aset kripto dilakukan secara terus-menerus. Pilihan sistem keuangan yang diterapkan dalam infrastruktur blockchain publik mempengaruhi bagaimana sistem dijalankan, namun layanan infrastruktur tersebut tetap tersedia bagi pengguna.

Perbedaan antara sistem deflasional dan inflasional menarik untuk diulas, tetapi hal ini akan saya serahkan kepada pakar ekonomi. Buku “The Bitcoin Standard” milik Saifedean Ammous bisa menjadi pilihan. Atau juga buku bertema sejarah, “Sapiens: A Brief History of Humankind” dari Yuval Noah Harari yang salah satu isinya bercerita tentang sejarah uang.

Demikian juga tentang perubahan “cryptocurrency” menjadi “cryptoasset”, merupakan topik menarik tetapi tidak termasuk ruang lingkup artikel ini. Yang jelas, di masa lampau kita pernah memiliki koin emas yang bertindak sebagai uang, meski saat ini emas diperlakukan sebagai aset yang dipengaruhi oleh sifat apresiatif (meningkat) material emas.

Aset Kripto dan Mata Uang

Tak dapat dipungkiri, aset kripto seperti Bitcoin memang diilhami oleh ide bahwa sistem pembayaran seharusnya lepas dari campur tangan pemerintah. Satoshi Nakamoto juga berpendapat bahwa privasi adalah hak asasi yang seharusnya dijamin oleh sistem keuangan. Gerakan cypherpunk[7] yang populer di tahun 1970-an bertujuan untuk mewujudkan sistem keuangan dengan dua karakteristik ini. Dimulai dari pengembangan sistem blind signature milik David Chaum, b money oleh Wei Dai, dan kemudian muncullah Bitcoin sebagai sistem yang mampu menawarkan fitur-fitur yang diinginkan oleh kaum cypherpunk.

Oleh karena itu, selain digunakan untuk membayar ongkos/biaya infrastruktur yang digunakan untuk menyimpan data, Bitcoin juga dapat dipandang sebagai infrastruktur pembayaran. Infrastruktur pembayaran di sini berarti bahwa peralihan “uang” atau aset digital dari satu pihak ke pihak lain harus difasilitasi sedemikian rupa sehingga:

  1. Aset digital tersebut sudah tidak lagi berada dalam penguasaan pengirim.
  2. Aset digital tersebut kini dapat digunakan hanya oleh penerima.
  3. Tidak ada pihak yang dapat menciptakan aset digital tanpa melalui protokol yang berlaku.
  4. Tidak ada pihak yang dapat membatalkan transaksi aset digital secara sepihak pada saat transaksi tersebut sudah selesai diproses oleh sistem.

Tentang apakah Bitcoin (atau aset kripto lain) diakui sebagai alat pembayaran yang sah di suatu negara, tentu saja tergantung dari kebijakan dari negara tersebut.

Bitcoin adalah Mata Uang Asing

El Savador merupakan negara kecil di kawasan Amerika Tengah yang mengubah peta politik aset kripto di seluruh dunia. Di bawah pemerintahan Presiden Nayib Bukele, El Savador berubah menjadi negara yang ramah aset kripto dalam waktu yang sangat singkat. Per tanggal 7 September 2021, Bitcoin menjadi alat pembayaran yang sah[8] di negara ini, di samping dolar Amerika Serikat yang berlaku.

Atas kebijakan nasional dari El Savador ini, kita dapat mengatakan bahwa Bitcoin adalah mata uang asing, layaknya kita memandang dolar Amerika Serikat sebagai mata uang asing. Bitcoin kini bukan lagi sekedar “cryptoasset”, melainkan benar-benar menjelma sebagai “cryptocurrency” atau mata uang kripto.

E-Money vs Aset Kripto

Topik untuk mengkontraskan kedua sistem, yakni aset kripto dan e-money, sebenarnya pernah saya bahas saat menjadi salah satu keynote speaker pada IDSECCONF 2017. Kedua sistem memiliki cara kerja dan konsep yang sama sekali berbeda. Adalah kurang tepat bila kita sebut keduanya memiliki tingkat keamanan yang sama. Bukan karena salah satu sistem lebih kurang aman dibandingkan sistem lainnya, melainkan karena cara kerja sistem tersebut amat berbeda. Karena cara kerjanya berbeda, maka model keamanan (security model, atau disebut juga model ancaman/threat model) kedua sistem berbeda.

E-money merupakan sistem keuangan digital sentralistik yang dikendalikan oleh pihak tertentu seperti perbankan maupun perusahaan teknologi finansial (tekfin). Tampilan aplikasi (user experience atau UX) e-money memberi ilusi bahwa penggunalah yang memindahkan dana miliknya ke rekening penerima. Padahal yang sebenarnya terjadi, sistem sentral yang menambahkan entry transaksi baru atas nama si pengirim.

Selain itu, dalam sistem keuangan sentralistik, pihak pengendali punya kuasa penuh atas dana milik nasabah sehingga bisa melakukan apapun terhadap nasabah tersebut, misalnya membekukan rekening ataupun memotong biaya administrasi.

Di sisi lain, aset kripto memberikan akses terhadap sistem inti kepada pengguna. Artinya, pengguna dapat langsung mengelola aset miliknya tanpa bantuan pihak lain seperti perbankan. Sistem desentralistik yang dianut oleh blockchain juga berarti bahwa tidak ada pihak yang dapat melakukan apapun tanpa izin pemilik aset.

Harga Wajar dan Aset Kripto Membubung Tinggi

Saya mengutip pendapat seorang konsultan keuangan terkenal, Andhika Diskartes, dalam sebuah seminar yang saya ikuti. Menurut beliau, aset kripto memang tidak memiliki harga wajar. Aset kripto merupakan tipe aset yang sama sekali baru dan belum pernah muncul di dunia. Valuasi aset kripto sekarang ini, tidak dapat dipungkiri, ditentukan oleh banyak faktor, seperti tingkat utilitas, ketersediaan di pasaran, dan spekulasi.

Semakin besar tingkat utilitas sebuah aset kripto, maka potensi valuasi aset kripto akan semakin tinggi. Ibaratnya, komputer berprosesor Intel i7 generasi terbaru akan bernilai lebih tinggi dibandingkan komputer berprosesor Intel Pentium IV, karena prosesor Intel i7 diyakini mampu melakukan lebih banyak komputasi dan lebih bermanfaat dibandingkan Intel Pentium IV.

Seperti halnya fluktuasi harga cabe di pasar, harga aset kripto juga bisa naik dan turun dipengaruhi oleh jumlah suplai di pasar. Hal ini dikarenakan sifat independensi aset kripto sehingga tidak ada pihak yang dapat mengintervensi mekanisme pasar.

Perlu juga diingat bahwa nilai uang berfluktuasi terhadap mata uang asing. Fluktuasi mata uang lokal seperti rupiah dapat diintervensi oleh otoritas melalui kebijakan moneter. Selain itu, daya beli uang juga fluktuatif. Di masa lampau, Indonesia pernah mengalami hiperinflasi yang menyebabkan ketidakstabilan ekonomi[9].

Spekulasi merupakan perwujudan dari karakteristik manusia yang ingin mencari untung. Aksi spekulasi tidak hanya terjadi di dalam industri aset kripto saja. Spekulan ada di hampir seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari sembako seperti beras, tanah dan rumah, valuta asing, hingga saham. Aksi spekulasi memang menyebabkan orang lain membayar lebih mahal, tetapi hal ini merupakan mekanisme pasar biasa. Spekulan sukses bisa mereguk untung, namun bisa pula merugi dalam jumlah besar, sesuai dengan prinsip high risk, high gain. Dalam hal ini, tidak ada yang baru.

Aset Kripto dan Bappebti

Sepertinya tidak banyak yang melakukan telaah mendalam atas aturan-aturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan dan Bappebti terkait aset kripto. Salah satu dari yang sedikit tersebut ada Zamid Jaya, seorang pengamat aset kripto. Dalam artikelnya di Blockchainmedia[10], ia memaparkan bahwa regulasi Bappebti hanya mencakup perdagangan aset kripto di bursa berjangka (futures).

Bappebti sebenarnya tidak memiliki kuasa untuk mengatur aset kripto secara penuh, misalnya aset kripto yang diperdagangkan di pasar spot. Dalam artikelnya, ia memberi pengandaian dua tipe perdagangan, yakni perdagangan jagung di pasar kontrak dan perdagangan jagung di pasar rakyat. Pada tipe pertama, Bappebti memang punya hak melakukan regulasi. Sementara pada tipe kedua, Bappebti sama sekali tidak diberi mandat untuk mengaturnya.

Zamid menyimpulkan bahwa aset kripto di Indonesia, terutama di pasar spot, belum diregulasi sepenuhnya oleh otoritas manapun. Tidak Bappebti, tidak OJK, dan tidak pula Bank Indonesia. Maka Gus Wahab keliru saat menyampaikan bahwa Bappebti merestui aset kripto. Restu yang bagaimana, untuk apa, dan dengan cara apa, sayangnyay sama sekali tidak dijelaskan di dalam artikel Gus Wahab yang lebih bernada mencela ketimbang menelaah dengan kaidah ilmiah.

Aset Kripto dan Utilitas yang Dipermasalahkan

Sebagai kesimpulan dari tulisan yang cukup panjang ini, saya ingin menekankan bahwa aset kripto seperti Bitcoin dan Ethereum setidaknya memiliki utilitas sebagai infrastruktur komputasi, bila perannya sebagai protokol keuangan desentralistik diabaikan.

Teknologi blockchain sebagai inovasi teknologi dinihilkan, seolah-olah muncul begitu saja dari perut bumi layaknya batu kerikil, hanya karena sifatnya sebagai perangkat lunak yang tidak berwujud. Padahal kita tahu, terkadang perangkat lunak punya nilai yang jauh lebih tinggi ketimbang perangkat keras yang berwujud. Tak perlu jauh-jauh, Microsoft Windows 10 Pro yang banyak dibajak di Indonesia itu, sebenarnya berharga lebih dari empat juta rupiah per kopi[11] dan telah terjual satu miliar kopi di seluruh dunia[12]. Apalagi sistem keuangan alternatif berskala internasional, bukankah sudah seharusnya punya valuasi tinggi?

Kajian tentang aset kripto sudah seharusnya melibatkan akademisi dan teknologis yang paham betul cara kerja sistem blockchain dan aset kripto, sehingga penggambaran aset kripto sebagai batu kerikil tidak perlu lagi terjadi di masa mendatang, yang berpotensi menyesatkan banyak orang. Saya juga sangat berharap, semoga kajian yang menghasilkan pendapat bahwa aset kripto haram tidak berasal dari sudut pandang kurang tepat yang diwakili oleh artikel tulisan Gus Wahab ini. Karena, tanpa kajian yang benar, sangat mustahil menghasilkan keputusan yang tepat untuk kesejahteraan masyarakat banyak.

 

Melbourne, 26 November 2021

* Dimaz Ankaa Wijaya, S.Kom., MNS., PhD., CSXF, CBP a,b,c

aHonorary Research Fellow di Universitas Deakin, Australia

bBlockchain Security Engineer di Sigma Prime

cHead of Research di Indonesia Blockchain Society (blockchainsociety.id)

email: dimaz@kriptologi.com

 

 

Catatan Kaki:

[1] Berdasarkan data dari Coinmarketcap.com pada 26 November 2021

[2] Protokol blockchain standar seperti Bitcoin dan Ethereum tidak memfasilitasi komponen kerahasiaan (confidentiality).

[3] https://ethereum.github.io/yellowpaper/paper.pdf

[4] https://www.quora.com/How-many-lines-of-code-is-Bitcoin-1

[5] https://fortune.com/2021/10/26/bitcoin-electricity-consumption-carbon-footprin/

[6] https://medium.com/efficient-frontier/on-austrian-economics-and-bitcoin-15051a28820d

[7] https://groups.csail.mit.edu/mac/classes/6.805/articles/crypto/cypherpunks/may-crypto-manifesto.html

[8] https://foreignpolicy.com/2021/09/17/el-salvador-bitcoin-law-farce

[9] https://id.wikipedia.org/wiki/Hiperinflasi_Indonesia_1963-1965

[10] https://blockchainmedia.id/bappebti-dan-nasib-aset-kripto-di-indonesia/

[11] https://www.microsoft.com/id-id/d/windows-10-pro/df77x4d43rkt?activetab=pivot%3aoverviewtab

[12] https://www.theverge.com/2019/9/24/20881418/microsoft-devices-windows-10-billion-million