Pengawasan Kripto Dialihkan ke OJK Setelah Ekosistem Lengkap

Share :

Portalkripto.com — Setelah Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) disahkan pada 15 Desember 2022, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan mulai melakukan masa transisi pengawasan aset kripto ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Menurut pasal 213 UU PPSK, aset kripto ditetapkan berada di ranah pengawasan OJK sebagai Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). Sebelumnya, aset kripto diawasi oleh Bappebti sebagai komoditas.

Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) Bappebti, Tirta Karma Senjaya, mengatakan, proses peralihan pengawasan kripto dari Bappebti ke OJK ditargetkan memakan waktu dua tahun. Proses ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP), yang penyusunannya dilakukan dalam waktu enam bulan setelah UU PPSK disahkan.

Rancangan PP akan merumuskan identifikasi regulasi, kelembagaan dan mekanisme pengalihan, yang disusun oleh Bappebti. Sebelum masa transisi selesai, pembinaan, perizinan, dan pengawasan aset kripto masih berada di bawah Bappebti.

Meski ada tenggat waktu, Tirta mengatakan, transisi pengawasan akan sepenuhnya dilakukan setelah ekosistem perdagangan kripto di Indonesia sudah lengkap. Ekosistem di sini artinya sudah ada kliring berjangka, kustodian dan bursa aset kripto, yang melengkapi pedagang fisik aset kripto dan pelanggan.

“Peralihan ke OJK dilakukan saat semua ekosistem sudah siap, jadi di OJK semua sudah lengkap,” ujar Tirta, dalam webinar Perlindungan Konsumen Aset Kripto pada UU PPSK, Senin, 27 Februari 2023.

Ekosistem perdagangan aset kripto di Indonesia. (sumber: Bappebti)

Pentingnya Regulasi untuk Perdagangan Kripto

Direktur Center of Economics and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, ada dua pandangan terkait regulasi aset kripto, yang pro dengan yang kontra

Pertama, pandangan bahwa aset kripto bersifat terdesentralisasi sehingga sejak awal entitas terpusat tidak perlu terlalu memperketat pengawasan. Kedua, pandangan bahwa kripto perlu diregulasi seperti instrumen keuangan lainnya karena valuasi dan nilai transaksinya yang besar.

“Saat kripto semakin teregulasi, fraud (penipuan) akan dibersihkan,” katanya dalam kesempatan yang sama.

Selain fraud, ada beberapa hal yang menurutnya perlu diatur lebih teknis dalam regulasi, salah satunya banyaknya financial influencer yang berpotensi menyesatkan investor.

“Investor ritel lebih suka mendengarkan financial influencer daripada konsultan bersertifikat,” ungkapnya.

Bhima juga mengusulkan tiga poin yang perlu diperhatikan pemangku kepentingan dalam menyusun PP masa transisi. Poin pertama adalah identifikasi pengaturan, termasuk memperjelas definisi kripto sebagai komoditas dan aset.

Dalam poin ini, Bappebti juga diharapkan bisa mengatur masalah biaya transaksi, keamanan transaksi, pengawasan internal, edukasi dan literasi aset kripto, dan program anti-pencucian uang.

“Edukasi terutama di daerah-daerah yang belum memiliki pengetahuan tentang aset kripto yang mumpuni,” tambahnya.

Poin kedua, tentang kelembagaan, Bhima menyarankan agar OJK bisa melakukan pembentukan unit khusus dan mempersiapkan sumber daya manusia, termasuk pengawas.

Sementara poin terakhir, berisi hal-hal yang kerap luput dari regulasi, seperti layanan pengaduan pelanggan dan mekanisme penyelesaian perselisihan pelanggan aset kripto.

Ketua Indonesia Crypto Consumer Association (ICCA) Rob Raffael Kardinal menambahkan, 80% investor kripto di Indonesia adalah kalangan muda yang mayoritas membeli kripto sebagai aset investasi pertama.

“Rata-rata investasi Rp500.000. Orang masuk kripto karena keterjangkauannya,” ujar Rob.

Oleh karena itu, menurutnya regulasi terbaik adalah yang mengutamakan keamanan dan kenyamanan konsumen, agar investor-investor muda bisa merasa aman dalam menyimpan aset mereka dan terhindar dari scam.

“Kustodian harus ada di Indonesia. Kustodian menjadi titik paling penting karena bisa trading kripto tanpa perlu takut uang hilang,” ungkapnya.