Pepe: Rp. 0 | 24h: -4.16%Binance Coin: Rp. 10.634.597 | 24h: 0.92%Coq Inu: Rp. 0 | 24h: 0.47%Ripple: Rp. 36.625 | 24h: 3.95%Fartcoin: Rp. 18.083 | 24h: 0%Fwog: Rp. 749 | 24h: 0%Sonic (prev. FTM): Rp. 5.555 | 24h: 3.5%PancakeSwap: Rp. 37.455 | 24h: -0.56%Solana: Rp. 2.468.745 | 24h: -0.13%
Lihat Market

Stablecoin: Pengertian dan Jenis-jenisnya

Share :

Portalkripto.com — Stablecoin adalah mata uang kripto dalam ekosistem blockchain yang memiliki nilai satu berbanding satu (1:1) dengan instrumen keuangan lain, seperti mata uang fiat atau komoditas.

Setiap stablecoin biasanya memiliki cadangan dalam bentuk aset lain dengan jumlah dan nilai yang sama. Misalnya, entitas penerbit stablecoin akan menyimpan $1 juta di bank tradisional untuk menjadi cadangan bagi 1 juta stablecoin yang beredar di pasar.

Dengan demikian, stablecoin bisa bersifat sangat likuid. Permintaan akan stablecoin terus meningkat sejak Juli 2017.

Selain itu, tak seperti Bitcoin atau altcoin yang memiliki volatilitas tinggi, nilai stablecoin juga cenderung stabil sehingga sering digunakan sebagai alat tukar di exchange. Stablecoin dianggap andal untuk menjadi kripto lindung nilai.

Jenis-jenis Stablecoin

Ada beberapa jenis stablecoin yang ada di pasar kripto, yang dibedakan berdasarkan pasaknya. Apa saja?

1. Stablecoin yang Berpasak dengan Mata Uang Fiat

Stablecoin yang memiliki nilai 1:1 dengan mata uang fiat menjadi stablecoin yang paling umum ditemui. Misalnya berpasak dengan dolar AS, euro, yen, rupiah, dan mata uang fiat lainnya.

Dalam stablecoin dolar AS, misalnya, rasio 1:1 berarti nilai satu stablecoin sama dengan $1. Oleh karena itu, setiap satu stablecoin yang beredar memiliki cadangan $1 yang disimpan di bank. Cadangan tersebut dikelola oleh kustodian independen dan diaudit secara teratur.

Ketika pengguna stablecoin melakukan pencairan, mereka akan menerima uang fiat yang berasal dari cadangan di bank itu. Pada saat yang sama, stablecoin yang dicairkan akan dikeluarkan dari peredaran atau dibakar.

Stablecoin yang berpasak dengan fiat dianggap sebagai stablecoin paling sederhana namun unggul secara struktural. Stablecoin jenis ini dinilai dapat memiliki peran besar dalam mendorong adopsi stablecoin dalam skala besar.

Contoh stablecoin yang berpasak dengan fiat adalah Tether (USDT) dan TrueUSD (TUSD).

2. Stablecoin yang Berpasak dengan Komoditas

Stablecoin jenis ini bernilai 1:1 dengan komoditas, seperti logam mulia, energi, dan bahkan hasil pertanian. Komoditas yang paling banyak digunakan sebagai pasak stablecoin adalah emas.

Emas umumnya dianggap sebagai aset lindung nilai dan bisa menjaga nilai mata uang dari inflasi. Stablecoin yang berpasak dengan komoditas tentunya bisa menciptakan peluang baru dalam investasi.

Contoh stablecoin ini adalah Digix Gold (DGX), token ERC-20 dalam jaringan Ethereum yang dikembangkan sebagai stablecoin dengan dukungan emas secara fisik.

Satu DGX bernilai sama dengan satu gram emas. Pengguna bisa menukarkan DGX dengan emas batangan di kantor pusatnya di Singapura.

3. Stablecoin yang Didukung dengan Mata Uang Kripto

Stablecoin jenis ini tetap berpasak pada mata uang fiat tetapi cadangan yang mendukungnya berupa mata uang kripto. Karena kripto memiliki volatilitas tinggi, maka biasanya cadangan stablecoin ini melebihi nilai stablecoin yang digunakan atau disebut juga overcollateralized.

Contohnya, stablecoin Dai (DAI) bernilai 1:1 dengan dolar AS. Namun, cadangannya berupa Ether (ETH) dan mata uang kripto lainnya yang menjamin 150% dari seluruh DAI yang beredar.

Meski menawarkan sifat desentralisasi yang lebih baik dibandingkan dengan dengan stablecoin lain, stablecoin jenis ini merupakan yang paling kompleks yang pernah digunakan.

4. Stablecoin Algoritmik

Stablecoin Algoritmik adalah stablecoin yang berpasak dengan mata uang fiat, namun bekerja dengan cara mengandalkan algoritma dan tidak memiliki aset yang menjadi cadangan atau jaminan.

Algoritma akan mengatur pasokan stablecoin sesuai dengan prinsip penawaran dan permintaan pasar. Jika harga stablecoin turun dari $1, misalnya, algoritma akan secara otomatis membakar sejumlah koin agar terjadi kelangkaan sehingga harganya bisa terdorong naik.

Stablecoin jenis ini menjadi yang paling berisiko. Karena tidak memiliki cadangan, setiap investor bisa kehilangan uangnya jika stablecoin tersebut crash.

Salah satu contoh nyata dari stablecoin algoritmik adalah TerraUSD (UST) yang ambruk pada Mei tahun lalu. Kini UST telah mengalami hard fork menjadi TerraClassicUSD (USTC).

UST bisa mencapai pasaknya terhadap dolar AS melalui penggunaan token ekosistem lainnya yakni LUNA. Terra memanfaatkan penggunaan algoritma berbasis smart contract untuk menjaga harga UST tetap pada $1 dengan membakar (menghancurkan secara permanen) token LUNA untuk mencetak (membuat) token UST baru.

Namun, UST mengalami depegging parah bersama LUNA, yang menghanguskan uang investor hingga lebih dari $40 miliar.

Kelemahan Stablecoin

Stablecoin dengan segala keunggulannya, juga memiliki kelemahan. Salah satunya adalah jumlah cadangan yang bisa saja kurang sehingga tidak cukup untuk menebus setiap stablecoin yang dicairkan.

Kelemahan lainnya adalah adanya campur tangan entitas pihak ketiga. Karena cadangan disimpan oleh kostudian seperti bank yang memiliki kendali penuh, bisa saja bank tersebut melakukan pemblokiran transaksi.

Selain itu, dengan volume perdagangan yang mencapai $130 miliar, stablecoin sering dianggap dapat mempengaruhi sistem keuangan yang lebih luas. Hal tersebut yang membuat kripto ini tengah dibidik oleh regulator, terutama di Amerika Serikat.

Stablecoin algoritmik yang dianggap paling rentan, juga perlu diwaspadai karena tidak selamanya algoritma yang digunakan berjalan dengan baik.

Pastikan Anda mempelajari setiap jenis stablecoin sebelum memilih untuk menggunakan salah satunya. Seluruh stablecoin memiliki risikonya masing-masing, namun juga memiliki manfaat yang luar biasa bagi pasar kripto.