Adopsi Teknologi Blockchain dalam Masalah Pengungsi

Share :

Portalkripto.com — Merujuk data UNCHR, jumlah penduduk yang dipaksa pindah dari tempat tinggalnya secara global per pertengahan 2022 diperkirakan mencapai 103 juta. Penyebab utama dari pengungsian ini adalah akibat konflik horizontal, persekusi, dan kekerasan. Penyebab lainnya adalah kelaparan dan bencana alam.

Sementara menurut data Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC) yang diperbarui pada 27 Oktober 2022, jumlah penduduk yang mengungsi di dalam negerinya sendiri sebanyak 53,2 juta pada akhir 2021.

Sedangkan pengungsi yang keluar dari negerinya mencapai 32,5 juta per pertengahan tahun 2022. Data lainnya menunjukan jumlah pencari suaka sebanyak 4,9 juta dan warga yang membutuhkan perlindungan internasional sebanyak 5,3 juta jiwa.

Tenda pengungsi warga Republik Demokratik Kongo di Kigeme, Rwanda. Diperkirakan jumlah pengungsi mencapai 14.000 jiwa. (Laura Eldon/Oxfam)

Suriah menjadi penyumbang pengungsi global terbanyak dengan jumlah 6,8 juta, disusul Venezuela (4,6 juta), Afganistan (2,7 juta), Sudan Selatan (2,4 juta), dan Myanmar (1,2 juta). Sedangkan lima negara yang paling banyak menampung pengungsi adalah Turki (3,8 juta), Kolombia (1,8 juta), Uganda (1,5 juta), Pakistan (1,5 juta), dan Jerman (1,3 juta).

Salah satu masalah serius yang dihadapi oleh puluhan juta pengungsi ini adalah mereka kehilangan dokumen identitasnya sehingga mereka kesulitan mendapatkan akses untuk penampungan, makanan, kesehatan, dan layanan publik lainnya.

Bantuan Makanan

Menurut World Economic Forum, teknologi Blockchain memiliki potensi untuk memecahkan masalah tersebut.

Pada Mei 2017, PBB dalam proyeknya World Food Programme (WFP) mengirimkan bantuan makanan untuk 10.000 pengungsi Suriah di Jordania menggunakan teknologi blockchain Ethereum. Setiap pengungsi diberi voucher berbasis kripto yang dapat digunakan di sejumlah pasar yang berpartisipasi.

Di saat bersamaan, PBB pun mengirim kode kupon unik kriptografi yang berisi dana dalam jumlah dinar Yordania yang dirahasiakan ke lusinan toko di lima kamp pengungsi di seluruh Yordania. Dengan menggunakan pemindai mata untuk memverifikasi identitas pengungsi, kasir kemudian akan menggunakan teknologi blockchain untuk menukarkan voucher di tempat pembayaran.

Proyek ini dipimpin oleh co-founder Ethereum Gavin Wood dan perusahaan big data blockchain Datarella.

Cara ini mempercepat transaksi dan mengurangi kemungkinan penipuan atau kesalahan pengelolaan data. Cara ini juga merupakan solusi efektif bagi organisasi internasional yang menghadapi banyak tantangan saat mendistribusikan bantuan. Mereka perlu melacak semua transaksi yang dilakukan di toko dan pasar untuk menentukan dan menyetujui pembelian dan menjamin penggunaan dana yang tepat.

Semua transaksi yang tercatat di dalam blockchain ini dapat dilihat oleh siapa saja yang terhubung ke jaringan tersebut.

Pengungsi asal Suriah yang mendapatkan bantuan PBB dalam proyek World Food Programme (WFP).

Dokumentasi Identitas

Ketika pengungsi terpaksa meninggalkan rumahnya, banyak yang meninggalkan dokumen penting seperti akte kelahiran, surat nikah, paspor, dan KTP. Menurut penelitian Norwegian Refugee Council, sekitar 77 persen pengungsi Suriah tidak memiliki identitas dan dokumen kepemilikan properti.

Mengatasi masalah ini, sebuah stratup blockchain bernama Bitnation membuat platform untuk membantu pengungsi mendapatkan dokumen identitas digital, yang dapat digunakan oleh pemerintah tempat mereka mengungsi untuk memverifikasi identitas mereka. Agar tervalidasi, platform tersebut memverifikasi beberapa akun media sosial pengungsi dan menautkannya ke nomor jaminan sosial, paspor, dan dokumen lainnya.

Di Finlandia, startup blockchain bernama MONI telah berkolaborasi dengan Layanan Imigrasi Finlandia sejak 2015 untuk memberikan MasterCard prabayar kepada setiap pengungsi dengan nomor identitas digital yang disimpan di blockchain. Sekalipun tanpa paspor yang diperlukan untuk membuka rekening bank di Finlandia, pengungsi yang terdaftar di MONI dapat menerima bantuan langsung dari pemerintah.

Kelompok pro pengungsi di Finlandia saat melakukan demo, 12 Maret 2016. (Helisusa).

Sistem ini juga memungkinkan para pengungsi untuk mendapatkan pinjaman dari orang-orang yang mengenal dan mempercayai mereka, dan mendapatkan pinjaman institusional seiring dengan rekam jejak finansial yang baik.

Inklusi finansial ini membantu masyarakat yang tidak memiliki akses ke sistem keuangan formal untuk terhubung ke ekosistem keuangan global.