Gavin Wood dan Ambisi Mendemokratisasi Ruang Internet

Share :

Portalkripto.com — Hari Minggu, 9 Juni 2013, The Guardian menerbitkan sebuah laporan pengakuan seorang pria berusia 29 tahun yang menguak data-data rahasia intelijen. Pria itu bernama Edward Snowden. Kelak ia dikenal sebagai salah satu whistleblower paling terkenal sepanjang sejarah.

Laporan tersebut membuat geger publik di seluruh dunia. Agen-agen intelijen dari berbagai negara dibikin murka, terutama National Security Agency (NSA) Amerika Serikat yang datanya dijebol paling banyak.

Setelahnya, data-data rahasia yang dibocorkan Snowden bersirkulasi secara masif di dunia maya, menjadi bahan-bahan pemberitaan sejumlah media besar lainnya seperti Washington Post, New York Times, hingga Spiegel.

Sejumlah arsip top secret yang dibocorkan antara lain upaya NSA menghimpun data pengguna via Google dan Facebook lewat program bersandi Prism, perintah serangan siber luar negeri oleh presiden Obama, peretasan sistem militer China dan Hongkong, serta penyadapan komunikasi politisi asing dalam pertemuan G-20 di London pada 2009 oleh intelijen Inggris.

Skandal yang menimpa pemerintah Indonesia juga dibocorkan Snowden. Terungkap Defence Signals Directorate (DSD) Australia pernah memata-matai ponsel pejabat tinggi Indonesia, termasuk presiden, ibu negara, dan beberapa menteri kabinet pada Agustus 2009.

Hingga saat ini para jurnalis telah merilis lebih dari 7.000 dokumen sangat rahasia yang dipercayakan Snowden kepada mereka. Jumlah ini menurut beberapa pendapat kurang dari 1% dari seluruh arsip yang dibajak Snowden. Pentagon mengklaim Snowden mengunduh hingga 1,7 juta file berisi arsip rahasia.

Setelah reli publikasi data intelijen tersebut, Snowden langsung jadi buronan di tanah airnya, AS. Pada tanggal 21 Juni 2013, Departemen Kehakiman AS membuka dakwaan terhadap Snowden atas dua tuduhan melanggar Undang-Undang Spionase tahun 1917 dan pencurian properti pemerintah. Departemen Luar Negeri AS kemudian ikut-ikutan mencabut paspornya.

Dua hari kemudian, dia terbang ke Rusia. Mantan pegawai CIA dan NSA itu sempat tertahan selama lebih dari satu bulan di Bandara Internasional Sheremetyevo Moskow akibat paspornya dicabut. Rusia kemudian memberikan izin tinggal kepada Snowden sebelum mengangkatnya menjadi warga negara pada 26 September 2022.

Saga pengungkapan data rahasia intelijen yang dilakukan Snowden ini menginspirasi seorang programmer Inggris, Gavin Wood, untuk mencetuskan ide tentang Web3.

Parade sadap menyadap yang dilakukan agen intelijen, serta pencatutan data pribadi oleh pemerintah via Google dan Facebook makin membuka matanya bahwa praktik otoritas tersentral dalam semesta transmisi data, terutama di ruang-ruang internet, mesti dilampaui.

Di suatu hari pada musim gugur di bulan April 2014, Gavin mempublikasikan catatan berjudul Dapps: What Web 3.0 Looks Like. Catatan tersebut berisi upaya eksplorasi terhadap dunia Web3, yang salah satunya bertujuan untuk memutus rantai perantara dalam semesta interaksi data. Tendensi anti-sentralitas itu menjadi ciri khas dalam rancang bangun semesta Web3 ala Gavin.

“Saat kita melangkah ke masa depan, kita menemukan kebutuhan yang meningkat akan sistem interaksi tanpa kepercayaan,” kata Gavin dalam pembukaannya.

Diskursus mengenai sisi gelap kepercayaan terhadap otoritas terpusat ini menurutnya sudah banyak disadari sebelum kejadian Snowden. Argumen tersebut semakin menguat setelah serangkaian data ihwal kelakuan culas para intel ini diungkap.

“Karena itulah kita menyadari bahwa mempercayakan informasi yang kita miliki kepada lembaga-lembaga secara umum adalah model yang rusak secara fundamental,” katanya.

Gavin berpendapat model bisnis yang dijalankan lembaga-lembaga tersebut mensyaratkan mereka untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi pengguna. Berharap agar korporasi-korporasi ini tak mengambil data pengguna adalah hal yang musykil lantaran itu akan mengganggu penghasilan mereka. Model bisnis semacam itulah yang hendak dilampaui Gavin via proyek Web3 dengan mengusung narasi desentralisasi.

Gavin Wood Sosok Pencetus Web3

Gavin James Wood lahir di Lancaster, Inggris, 42 tahun lalu, tepatnya pada bulan April 1980. Sedari kecil, Gavin sudah punya ketertarikan tersendiri terhadap dunia komputer. Gavin mendapatkan komputer pertamanya dari sang ibu ketika ia berusia sembilan. Dengan bimbingan tetangganya, Gavin kemudian menggunakan komputer itu untuk mempelajari bahasa pemrograman.

Ketertarikan Gavin terhadap dunia pemrograman inilah yang mendorong dirinya untuk berkuliah di bidang ilmu komputer. Gavin lulus dari University of York dengan gelar Master of Engineering pada tahun 2002. Pada 2005, Gavin memperoleh gelar Ph.D lewat tesis doktoralnya yang berjudul “Content-based visualisation to aid common navigation of musical audio“.

Setelah lulus kuliah, Gavin mencoba menjual keahliannya di bidang pemrograman dengan berbagai cara, termasuk menjadi konsultan Microsoft Research, mendirikan startup, hingga menjual lampu disko canggih hasil pemrograman untuk night club di London.

Gavin kemudian bersentuhan dengan Ethereum saat proyek tersebut baru mulai dibangun antara akhir 2013-2014. Ia terlibat menjadi co-founder Ethereum bersama sejumlah sosok lainnya seperti Vitalik Buterin, Joseph Lubin, Jeffrey Wilcke, dan Charles Hoskinson.

Di Ethereum, Gavin bukan co-founder sembarangan. Bisa dibilang dia adalah salah satu motor yang paling berpengaruh dalam membangun fondasi jaringan blockchain tersebut. Bersama dengan Vitalik dan Jeffrey, tiga serangkai maut programer Ethereum generasi awal. Gavin membangun fondasi jaringan dengan bahasa pemrograman C++ yang notabene lebih efisien ketimbang bahasa pemrograman Python yang digunakan Vitalik.

Sosok dengan nama belakangan yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti kayu ini juga menjadi insinyur yang menerbitkan Yellow Paper berisi deskripsi teknis dari Ethereum Virtual Machine (EVM) pada 2014.

Kontribusi lainnya, Gavin mengusulkan dan membantu mengembangkan Solidity, bahasa pemrograman untuk smart contract yang jadi jantung proyek. Dia juga merilis makalah Yellow Paper Ethereum yang berisi deskripsi matematis dari Ethereum Virtual Machine (EVM) pada 2014 dan menjabat sebagai Chief Technology Officer (CTO) pertama di Ethereum Foundation. Setelah proyek berkembang, Gavin malah memilih meninggalkan Ethereum pada Januari 2016.

Sebelum keluar dari Ethereum, Gavin ikut mendirikan Parity Technologies pada 2015. Pada 2017, dia mendirikan Web3 Foundation di Zug, Swiss, tempat Ethereum pertama kali dikerjakan. Web3 Foundation ini merupakan lembaga yang membidani kelahiran jaringan Polkadot, sebuah proyek ambisius yang disebut sebagai ‘parachain’ oleh Gavin, yakni semacam super blockchain atau multichain yang terdiri dari beberapa blockchain. Dia juga mendirikan Kusama, proyek pengembangan eksperimental tahap awal untuk Polkadot.

Parity, Polkadot, Kusama dan Web3 Foundation adalah proyek yang saling terkait satu sama lain. Seluruhnya dibuat oleh tim Gavin untuk menjalankan fungsi teknis yang saling menunjang utilitas satu sama lain.

Secara personal, Gavin bisa dibilang memiliki visi utopia tentang semesta internet yang desentralisasi. Visinya itulah yang mendorong Gavin mencetuskan konsep Web3 setelah serangkaian aksi spionase yang diungkap Snowden.

Istilah ini dipertentangkan dengan Web2 dan Web1. Jamaknya dalam bayangan kebanyakan orang, Web3 adalah semacam versi upgrade di mana tampilan situs web internet akan tampak lebih interaktif dan eksploratif laiknya Metaverse.

Fitur-fitur teknologi futuristik macam tampilan antarmuka tiga dimensi serta pemanfaatan virtual reality jadi barang mewah yang membedakan Web3 dengan dua generasi Web sebelumnya. Namun bukan itu yang diketengahkan Gavin, melainkan sebuah model interaksi yang serba terintegrasi dan nirperantara dengan moto “less trust, more truth“.

Dalam lanskap Web3 ala Gavin, seseorang bisa membaca berita, berkirim pesan, melakukan transaksi, mengakses layanan streaming video atau lagu tanpa harus menyertakan data pribadi pada pihak ketiga. Entitas pihak ketiga pun sebisa mungkin dilenyapkan, sehingga interaksi langsung dilakukan antar pengguna.

Penafian terhadap pihak ketiga ini dianggap penting oleh Gavin. Penyingkiran perantara ini adalah elemen dasar bagi Web3 sebagai sebuah paradigma trustless alias nirkepercayaan kepada otoritas yang punya tendensi korup.

Petualangan di Samudra Simulakra

Kebiasaan Gavin mondar-mandir berganti proyek sepanjang perjalanan karirnya menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang gemar bertualang mengarungi hamparan luas samudra simulakra. Ambisi merambah dan menemukan hal baru itulah yang membuat dirinya tak kerasan dan meninggalkan Ethereum pada awal tahun 2016.

Dia keluar dari Ethereum lantaran perkembangan proyek itu tidak mampu memenuhi ekspektasinya. Misalnya, dia mengharapkan upgrade Ethereum 2.0 akan diluncurkan pada 2016. Tapi tanda-tanda tersebut tak juga terlihat sampai kemudian ia memutuskan keluar. Upgrade Ethereum 2.0 sendiri baru dieksekusi pada 2022.

Kegusaran itulah yang ia bawa ke Polkadot. Proyek yang dikerjakan keroyokan bersama Parity dan Web3 Foundation itu dapat menjembatani hasrat Gavin.

“Dengan Polkadot, saya memiliki kesempatan untuk benar-benar menjelajahi ruang desain blockchain. Saya ingin mencari alternatif, mungkin inovasi yang lebih menarik, atau berpotensi lebih signifikan, seperti kemampuan untuk memiliki rantai (chain) dengan sifat yang sama sekali berbeda, ada di bawah atap yang sama dan kemudian berkembang seperti itu,” kata Gavin dalam sebuah wawancara yang dimuat Protocol, September 2021.

Polkadot adalah proyek ambisius yang mendaku dirinya sebagai ‘parachain’, yakni sebuah blockchain bagi blockchain. Bila Ethereum adalah YouTube, maka Polkadot adalah smart TV yang di dalamnya menyediakan YouTube, Netflix, HBO, Disney Plus, Amazon Prime dan yang lainnya sekaligus. YouTube adalah ekosistem yang menyediakan ragam rupa konten video, sedangkan smart TV adalah layanan yang menyediakan berbagai ekosistem yang menyediakan ragam rupa konten video.

Polkadot dan Ethereum sama-sama ingin menjadi layanan satu pintu untuk semua kebutuhan, mencakup segala rupa yang mungkin dalam semesta ekosistem jaringan komputer, meskipun ambisi ini sebetulnya juga diusung oleh sebagian besar proyek blockchain yang ada belakangan ini.

Jejak ambisi untuk menjadi jangkar fundamental bagi segala entitas yang mungkin ada dalam jagat transaksi data ini bisa dilihat dari nama dan istilah yang dilekatkan. Ethereum misalnya, terinspirasi dari kata “ether”, senyawa yang dalam teori fisika abad ke-19, dipercaya sebagai substratum bagi alam semesta dan medium yang dilalui gelombang cahaya.

Polkadot di sisi lain dibangun dengan software development kit blockchain Substrate. “Substrat” atau substratum didefinisikan secara beririsan oleh Oxford Dictionary sebagai “sebuah substansi atau lapisan (layer) yang berada di bawah sesuatu atau di mana sesuatu terjadi.”

Substrate adalah software development kit blockchain utama yang digunakan oleh pengembang untuk membuat parachain yang membentuk jaringan Polkadot. Polkadot sendiri mendeklarasikan diri sebagai “protokol layer-0” yang mendasari dan mendukung jaringan layer-1.

Singkatnya, kedua proyek ini sama-sama ingin menjadi fondasi paling dasar bagi proyek-proyek lainnya yang dikembangkan di rimba raya dunia maya.

Bila Vitalik tampaknya percaya diri dengan daya jelajah Ethereum, tidak sama halnya bagi Gavin. Dia ingin mencoba kendaraan baru untuk bertualang dan melakukan penaklukan demi penaklukan di belantara rimba Web3 yang belum banyak terjamah. Hasrat mencoba hal-hal baru itulah yang tampaknya melandasi kegemaran Gavin bergonta-ganti kendaraan proyek.

“Semua orang yang pernah bekerja dengan saya tahu di mana hati saya berada. Saya adalah seorang pemikir, coder, desainer, dan arsitek. Saya bisa bertindak sebagai CEO cukup baik untuk sementara waktu, tapi itu bukanlah [tempat] di mana saya akan menemukan kebahagiaan abadi. Seorang CEO yang baik perlu ada bagi orang lain secara terus menerus.” kata Gavin saat memutuskan mangkat dari posisinya sebagai bos Parity.

Visi Demokrasi dan Utopia Desentralisasi

Kasus kebocoran data intelijen oleh Snowden semakin membuka mata banyak orang tentang betapa dekatnya kemungkinan lembaga-lembaga penyedia layanan transaksi data dan komunikasi untuk melakukan praktik korup pembocoran data.

Lembaga pemilik aplikasi atau penyedia layanan terbukti bisa memberi akses penyadapan dan memperlakukan data-data pribadi pengguna dengan seenak udel mereka. Otoritas yang memegang kontrol, baik pemerintah maupun swasta, juga dapat saja menyabotase tindakan-tindakan partisipan atau pengguna yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan lembaga.

Pada 2010 misalnya, Visa, MasterCard, dan PayPal membekukan rekening sumbangan untuk situs WikiLeaks dengan alasan bahwa aktivitas situs tersebut ilegal. Contoh lain, ramai-ramai Google hingga sosial media macam Twitter, Facebook, Instagram, dan YouTube memberlakukan pemblokiran dan restriksi terhadap sejumlah media maupun konten media sosial dari Rusia setelah negara tersebut menabuh genderang perang terhadap Ukraina.

Gavin dengan ide Web3-nya hendak melawan sistem terpusat yang bertendensi korup itu. Sebagai gantinya, ia menawarkan distribusi kontrol yang lebih terdesentralisasi di mana komunikasi dan transaksi dapat dilakukan secara peer to peer alias langsung antar pengguna.

Dalam sebuah wawancara dengan CNBC, Gavin mengatakan model desentralisasi ini sudah dipraktikkan oleh perusahaan besar seperti Facebook, Google, Twitter, dan Amazon. Para big tech ini mendistribusikan aset, mesin komputasi, dan server mereka ke jaringan komputer pengguna di seluruh dunia. Tapi desentralisasi jaringan ini semu belaka. Pasalnya, secara politik, mereka memiliki kekuasaan yang terpusat.

“Desentralisasi yang kita bicarakan adalah desentralisasi politik. Jadi di sinilah kekuatan itu sendiri terdesentralisasi. Tidak ada satu orang pun yang, misalnya, mematikan Bitcoin karena tidak ada CEO Bitcoin, dan ia tidak ada karena by design,” katanya.

Desentralisasi ini menjadi inti dari gagasan Gavin. Web3 menurut Gavin adalah upaya untuk mengikis dan menghilangkan kebutuhan akan layanan berbasis perantara yang saat ini jamak digunakan.

“Web3 adalah benar-benar semacam visi alternatif dari web di mana layanan yang kita gunakan tidak di-hosting oleh satu perusahaan penyedia layanan, melainkan semacam hal algoritmik murni yang dalam beberapa hal di-hosting oleh semua orang,” kata Gavin.

Dalam praktiknya, para pengembang akan menyediakan aplikasi atau layanan yang dibutuhkan pengguna, seperti browser, media sosial, dompet virtual, exchange, dan lain sebagainya. Seluruh layanan itu dibangun di atas rel blockchain dengan arsitektur yang dirancang agar pengembang tak memiliki akses terhadap data privat atau kepemilikan pribadi pengguna dalam bentuk apapun.

Gambaran ini boleh jadi tidak sepenuhnya akurat atau menggambarkan entitas yang ‘setengah terdesentralisasi’. Gavin sendiri belum berani membayangkan akan seperti apa Web3 ini sampai ia menjadi mainstream di kemudian hari.

Yang pasti, model desentral membuat pengguna dapat terlibat aktif dalam penentuan kebijakan atau pembaruan platform yang ditentukan secara kolektif. Biasanya, mekanisme pengambilan keputusan kolektif ini dijalankan melalui voting. Dalam model yang berkembang sejauh ini, hak voting diberikan kepada pengguna yang memiliki token atau koin yang berlaku pada platform. Semakin banyak token yang dimiliki, semakin besar hak suara yang diperoleh.

Contohnya, pengguna media sosial desentral versi Web3 ingin menentukan kebijakan tentang media-media yang dicap berafiliasi dengan pemerintah Rusia, apakah harus diblokir atau tidak. Bila harus diblokir, media apa saja yang masuk kategori tersebut. Partisipan yang memiliki token dapat menggunakan hak suaranya untuk memilih dan menentukan kebijakan apa yang mesti diambil platform berdasarkan konsensus kolektif.

Protokol ini bisa dikontraskan dengan kebijakan sejumlah platform media sosial tersentral. YouTube misalnya, melakukan pemblokiran total terhadap Russia Today dan Sputnik seiring meletusnya perang Rusia-Ukraina sejak awal 2022. Facebook, Twitter, TikTok, dan Google, memberlakukan restriksi terbatas. Redfish, diberi label sebagai “Russia state-controlled media” di Facebook, TikTok, Twitter, dan Instagram. Di sisi lain, Rusia sendiri membatasi akses sejumlah media sosial kepada warganya.

Walau terkesan lebih demokratis, model voting ini tak lepas dari kekurangan. Pasalnya pemilik token dalam jumlah besar akan memiliki hak suara lebih besar dan berpotensi kuat mempengaruhi keputusan hasil voting. Ujungnya, model demokrasi macam ini sama sekali tidak memberikan alternatif terhadap kuasa modal yang sudah kadung mapan dalam tatanan masyarakat kapitalistik. Utopia akan tatanan demokrasi yang lebih progresif sulit terpenuhi lantaran desentralisasi kekayaan yang menjadi syarat distribusi kekuasaan tidak terpenuhi.

Gavin sendiri menyadari kekurangan mendasar model demokrasi voting macam ini. Sebagai upaya untuk mengatasinya, dia menawarkan model modifikasi conviction voting, yakni perhitungan hak suara berdasarkan durasi kepemilikan token. Semakin lama seseorang menahan token, hak suara yang diberikan semakin besar ketimbang holder jangka pendek dengan kepemilikan token yang setara. Model ini menurut Gavin telah diintrodusir di jaringan Polkadot.

Walau begitu, nampaknya model ini akan terlihat impoten bila dihadapkan dengan kekuatan modal dari para super kaya. Gavin sendiri memperingatkan bahwa suara mayoritas pada titik yang ekstrem bisa mendorong platform membatasi atau bahkan melumpuhkan layanan.

“Kita harus menerima kenyataan bahwa pada dasarnya mayoritas dapat menghancurkan atau setidaknya melumpuhkan layanan tersebut,” katanya. “Jika kamu tidak mendapat dukungan mayoritas, maka kamu hancur.”

Gavin sendiri mengatakan ada “sangat banyak masalah yang belum terselesaikan” dalam perkara politik tata kelola kebijakan ini. Menurutnya, bentuk model tata kelola yang ideal masih akan terus berkembang sampai suatu masa yang jauh di depan.

Saat ditanya tentang model tata kelola yang baik dalam bayangannya sejauh ini, Gavin menjawab dengan tawaran fusi dari model teknokratis dengan sistem voting. Bagaimanapun, dia juga menyadari bahwa segala apa yang dicita-citakan tentang sebuah tatanan baru yang serba desentral dan demokratis ini mungkin tak akan pernah sepenuhnya terwujud.

“Pada akhirnya, kamu tahu, mungkin mimpi utopia yang menakjubkan ini hanya akan terwujud separuhnya. Tapi itu masih, dalam pikiran saya, akan lebih baik daripada apa yang kita miliki saat ini, kamu tahu, dunia yang pada dasarnya bersandar pada kekuatan otoriter,” kata dia.