Whitepaper CBDC Digital Rupiah Ungkap Kekhawatiran BI Terhadap Shadow Currency

Share :

Portalkripto.com — Bank Indonesia (BI) meluncurkan Whitepaper Central Bank Digital Currency (CBDC) Digital Rupiah pada 30 November 2022. Whitepaper ini menjadi pedoman implementasi Rupiah sebagai centralized digital currency yang diterbitkan otoritas bank sentral.

Dalam whitepaper setebal 43 halaman ini, BI memaparkan sejumlah alasan penerbitan Digital Rupiah sebagai CBDC. Salah satunya ialah dalam rangka menjawab tantangan atas kebutuhan masyarakat akan uang digital yang membuat transaksi lebih cepat, efisien dan aman.

BI mengutip laporan e-Conomy SEA dari Google, Temasek, dan Bain yang menemukan kenaikan signifikan aktivitas ekonomi dan keuangan digital (EKD) di Indonesia sepanjang 2021. Tercatat, konsumen digital baru bertambah 21 juta dan penetrasi internet naik menjadi 74% . Laporan itu juga mencatat, kurang lebih 98% merchant sudah menggunakan pembayaran digital dan 59% di antaranya memanfaatkan pembiayaan digital.

Selain penetrasi EKD, BI juga memaparkan dinamika aset kripto sebagai alasan lain. Mengutip data CoinMarketCap, kapitalisasi pasar kripto sempat menyentuh angka hampir $3 triliun jelang akhir 2021. Data Bappebti juga mencatat, jumlah investor kripto di Indonesia per September 2022 mencapai 16,3 juta, tumbuh signifikan 81,6% year on year (yoy).

Bank sentral menyebut model bisnis baru ini menjanjikan terobosan inklusi keuangan serta efisiensi pembayaran antarnegara. Namun, di balik manfaat tersebut tersimpan berbagai faktor risiko. Risiko-risiko tersebut antara lain terkait dengan perlindungan konsumen, disrupsi terhadap industri petahana, hingga risiko makro-finansial yang mengurangi kendali otoritas terhadap stabilitas moneter dan sistem keuangan.

“Fluktuasi yang diikuti kejatuhan harga kripto baru-baru ini (crypto winter) membuktikan betapa rapuhnya fondasi model bisnis kripto. Demikian pula, biaya transaksi tidak selalu murah, bahkan semakin mahal justru ketika jumlah penggunanya membesar,” demikian dalam whitepaper Digital Rupiah.

Selain itu, BI menyebut proses penerbitan dan distribusi aset kripto terjadi di luar sistem moneter formal dapat berkembang menjadi digital currency di luar area yurisdiksi tertentu. Termaterialisasinya risiko tersebut dinilai jadi ancaman bagi kedaulatan moneter sebuah negara yang mengakibatkan terganggunya transmisi kebijakan moneter. Berbagai variasi dan perkembangan aset kripto juga dinilai memicu kekhawatiran atas risiko shadow currency bahkan shadow central banking.

“Eskalasi risiko shadow banking, shadow central banking, dan shadow currency menuntut bank sentral untuk mencari solusi yang memastikan Rupiah tetap menjadi satu-satunya mata uang yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada era digital.”

Sebagai solusi atas tantangan itu, BI menawarkan proposal CBDC Digital Rupiah untuk memenuhi kebutuhan uang digital yang diklaim bebas risiko, efisien dan aman. Penerbitan CBDC juga akan menjaga kedaulatan dan stabilitas moneter serta sistem keuangan ala bank sentral.

“Central Bank Digital Currency (CBDC) muncul sebagai solusi prospektif untuk menjawab tantangan tersebut. CBDC adalah bentuk baru dari uang bank sentral yang juga merupakan kewajiban bank sentral dan mempunyai denominasi yang sama dengan mata uang resmi serta dapat digunakan untuk alat tukar, satuan hitung, maupun penyimpan nilai,” demikian whitepaper Digital Rupiah.

Peta jalan Digital Rupiah

Dua Jenis Digital Rupiah

Whitepaper berjudul Proyek Garuda: Menavigasi Arsitektur Digital Rupiah ini menyebut ada dua jenis uang Digital Rupiah yang bakal dikeluarkan BI, yaitu Digital Rupiah wholesale (w-Digital Rupiah) dan Digital Rupiah ritel (r-Digital Rupiah) yang akan dikembangkan dengan pendekatan terintegrasi dari ujung ke ujung dari wholesale ke ritel. Pengembangan akan dimulai dengan w-Digital Rupiah pada tahap awal, yang menjadi fondasi dari tahapan pengembangan Digital Rupiah secara menyeluruh (r-Digital Rupiah dan w-Digital Rupiah).

W-Digital Rupiah hanya dapat digunakan secara terbatas oleh pihak-pihak yang ditunjuk Bank Indonesia, layaknya rekening giro pihak ketiga di Bank Indonesia. Sedangkan R-Digital Rupiah dapat digunakan layaknya uang kertas dan logam.

Dua jenis Digital Rupiah ini akan menjadi komplemen uang kartal (kertas dan logam) dan rekening giro pihak ketiga di Bank Indonesia. Artinya, masyarakat masih dapat menggunakan uang fisik meskipun Digital Rupiah sudah diterbitkan BI.

“Digital Rupiah hadir sebagai komplemen dari uang-uang yang lazim digunakan oleh masyarakat, termasuk uang kartal fisik. Tugas Bank Indonesia dalam hal ini adalah menjawab kebutuhan dan preferensi pembayaran masyarakat.”

Untuk infrastruktur teknologi, Digital Rupiah menggunakan kombinasi antara distributed ledger technology (DLT) dan infrastruktur tersentralisasi. Digital Rupiah akan dilengkapi dengan berbagai fitur yang diharapkan mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Fitur-fitur unggulan tersebut meliputi programmability, composability, dan tokenisasi yang berbasis smart contract.

CBDC, Kripto, dan Uang Elektronik

CDBC menjadi sejenis makhluk baru dalam khazanah percaturan mata uang digital yang semakin mencuri perhatian belakangan ini. Mayoritas bank sentral dunia telah mulai melakukan tahapan riset dan percobaan sesuai dengan karakteristik negaranya masing-masing.

Berdasarkan data atlanticcouncil, hingga saat ini sebanyak 105 negara, yang mewakili lebih dari 95 persen PDB global, sedang menjajaki CBDC.

Dari jumlah tersebut, 10 negara sudah resmi meluncurkan CBDC, 19 negara G20 sedang menjajaki CBDC, dengan 16 negara sudah dalam tahap pengembangan atau percontohan. Indonesia sendiri ada dalam tahap pengembangan.

Bila dilihat sepintas, CBDC nampak memiliki kesamaan dengan para pendahulunya, yakni kripto dan uang elektronik. Persamaan ketiganya adalah bahwa mereka sama-sama tidak memiliki ‘wujud fisik’ yang secara tradisional senantiasa melekat dalam imajinasi kebanyakan masyarakat tentang uang.

Perbedaannya ada lumayan banyak. Salah satu yang paling mencolok adalah dari sisi penerbit mata uang. CBDC diterbitkan oleh bank sentral, sementara kripto bisa diterbitkan oleh siapa saja.

Penerbitan CBDC oleh pemerintah membuatnya pasti diterima secara luas sebagai legal tender atau alat bayar resmi suatu negara. Sementara kripto, tak bisa serta-merta jadi alat bayar terkecuali para pihak yang bertransaksi menyepakatinya secara peer to peer.

Di Indonesia sendiri, pemerintah mengklasifikasikan kripto sebagai aset, bukan mata uang. Karena itu, kripto tak diperbolehkan sebagai alat bayar dalam jual-beli.

Sedangkan uang elektronik yang terdapat dalam saldo OVO, Dana, GoPay, bukanlah uang yang diterbitkan masing-masing perusahaan. Platform-platform tersebut masih menggunakan uang rupiah. Peran mereka hanya menyediakan dompet laiknya kartu debit atau aplikasi mobile banking.

Perbedaan selanjutnya adalah dari segi fluktuasi nilai. Sejauh ini uang bank sentral relatif lebih stabil ketimbang kripto. Pada awal Desember 2021, harga BTC $50.000. Saat ini, harganya $16.500 atau turun lebih dari 65%. Sementara rupiah relaitif lebih stabil terhadap dolar AS dengan Rp14.300-an satu tahun lalu, dan Rp15.600-an pada saat ini. Dalam khazanah kripto, fluktuasi CDBC akan mirip stablecoin.

Dari segi privasi, kripto yang disimpan di jaringan blockchain terdesentralisasi menawarkan tingkat privasi tinggi dengan model kepemilikan yang sepenuhnya anonim. Identitas siapa memiliki koin apa dan seberapa banyak tidak dapat diketahui apabila yang bersangkutan menggunakan wallet non-kustodial. Identitas penanda kepemilikan hanya tercatat dalam deret alamat wallet kombinasi huruf dan angka hingga puluhan digit. Misal 0xc2p bla bla bla.

Tapi, bila menggunakan wallet kustodial yang saat ini masih menjadi arus utama, identitas pemilik tetap dapat diketahui. Wallet kustodial ini biasanya digunakan oleh investor atau trader yang melakukan aktivitas perdagangan kripto di centralized exchange (CEX).

Di sisi lain CBDC akan dibangun di atas blockchain yang menggunakan metode lebih terpusat. Anonimitas kemungkinan akan hilang dalam model CDBC. Identitas pengguna kemungkinan akan disertakan sebagai syarat kepemilikan akun atau dompet laiknya pendaftaran nasabah perbankan.

Implikasinya, setiap transaksi CBDC akan terlacak oleh pemerintah. Detail transaksi hanya akan tersedia untuk pengirim, penerima, dan bank sentral, tidak seperti detail transaksi kripto yang tersedia untuk umum.

Salah satu kelebihan yang digadang-gadang dalam skema CBDC ini adalah pemerintah bisa dengan mudah melacak transaksi pencucian uang yang lazim digunakan dalam kejahatan-kejahatan korupsi. Tapi, di sisi lain, apa yang dikhawatirkan dari skema ini ialah adalah bahwa terbuka potensi pembekuan rekening warga atau pembatasan aktivitas transaksi terutama dalam situasi krisis.