Blockchain di Persimpangan Jalan

Share :

Portalkripto.com — Tabloid Apple Daily beserta awak redaksinya nampaknya tengah merasakan manfaat dari teknologi blockchain yang selama ini kita kenal sebagai fondasi dari Bitcoin maupun aset kripto lainnya.

Salah satu media cetak pro demokrasi berbasis di Hongkong ini “diselamatkan” oleh blockchain saat pemerintah ingin memberangus kebebasan mereka dengan alasan Undang-undang keamanan nasional.

Sebelum Apple Daily mencetak edisi terakhirnya, Ho, aktivis siber berusia 21 tahun yang bekerja di bidang teknologi, mulai mengunggah artikel Apple Daily di platform penyimpanan file terdesentralisasi ARWeave. Platform berbasis blockchain ini berguna untuk memecah file menjadi potongan-potongan informasi yang didistribusikan melalui jaringan terbuka komputer anonim di seluruh dunia.

Langkah ini nampkanya berhasil, data dan berita-berita dari Apple Daily  bebas dari pemblokiran yang dilakukan oleh otoritas.

“Saya tidak melakukan ini karena saya menyukai Apple Daily. Tetapi saya memang harus melakukannya. Saya tidak pernah berpikir Apple Daily akan menghilang begitu cepat,” ujar Ho, dikutip CNBC.

Apple Daily merupakan salah satu surat kabar pro-demokrasi Hong Kong yang paling vokal, yang dikenal sebagai platform kritik terbesar terhadap kepemimpinan Hong Kong dan Cina.

Lima petingginya ditangkap. Surat kabar itu tidak lagi dicetak, situs resminya ditutup, dan semua akun media sosialnya dihapus. Namun seluruh isinya kini abadi, tersimpan di dalam blockchain.

Kasus tersebut menjadi salah satu bukti bahwa blockchain tak hanya menjadi katalis bagi evolusi ekonomi digital. Kemampuannya mampu menyediakan tempat bagi data yang aman namun tetap transparan, dan akurat. Lebih dari itu teknologi ini memiliki implikasi langsung secara sosial, politik, dan demokrasi.

Mantan CEO Coinbase, Balaji Srinivasan dalam sebuat cuitannya pada Januari 2021 mengatakan, blockchain sebagai sebuah alat untuk melawan seluruh jenis kekuatan terpusat, mulai dari negara hingga perusahaan, telah menjadi opini populer tentang HAM saat ini.

“Uang hanya faktor pendorong yang menyebabkan kripto semakin banyak diadopsi,” tulis dia.

Menurutnya, di negara-negara yang perekonomiannya tidak stabil dengan pemimpin politik otoriter, blockchain telah memerankan peran yang penting.

Sejak 2009, industri kripto dan blockchain telah menjadi simbol kebebasan yang memungkinkan orang-orang di seluruh dunia untuk melawan kekuatan terpusat dengan membangun jaringan terdesentralisasi yang pada dasarnya tidak mungkin untuk ditutup.

Penggunaan blockchain juga meluas lebih dari sekadar penyimpan data. Dalam industri perikanan, terutama di Asia Tenggara, sejumlah nelayan dan pekerja pengolahan makanan laut dilaporkan sering menjadi korban pelanggaran HAM.

Blockchain Provenance kemudian meluncurkan program untuk melacak ikan secara realtime. Program tersebut bisa memastikan ikan ditangkap secara etis oleh nelayan yang bekerja dengan upah yang wajar dan dalam kondisi yang wajar.

Nelayan melaporkan data setiap tangkapan melalui SMS dan akan memperoleh ID unik terkait tangkapan itu, yang akan disimpan di dalam blockchain.

Konsumen dapat mengakses semua informasi ini dengan memindai barcode atau QR code yang tertera pada kemasan produk.

Sisi Persimpangan yang Lain

Teknologi ini muncul kepermukaan setelah seorang pseudonym pencipta Bitcoin, Satoshi Nakamoto, menggunakannya sebagai fondasi bagi berjalannya mata uang tersebut.

Padahal, konsep blockchain telah dikenalkan sejak tahun 1991 oleh dua orang peneliti teknologi komputer asal Amerika Serikat: Stuart Haber dan W Scott Stornetta. keduanya mengenalkan konsep blockchain dalam  sebuah jurnal ilimah berjudul How To Time-Stamp a Digital Document.

Dalam jurnal tersebut, kedua peneliti itu menjelaskan untuk pertama kalinya konsep kriptografi dalam blockchain. Ia membuat sebuah penelitian bagaimana aset digital seperti teks, gambar, dan audio, bisa dipatenkan atau diamankan menggunakan kriptografi.

Pada intinya, blockchain menjadi teknologi database elektronik yang tahan terhadap kerusakan sehingga bisa membantu melindungi integritas informasi yang disimpan di dalamnya.

Blockchain memungkinkan pengguna untuk secara kooperatif menyimpan catatan transaksi. Detail transaksi akan langsung dibagikan ke seluruh komputer yang terlibat dalam blockchain, yang disebut ‘node‘.

Semua node memiliki akses ke data transaksi yang validasinya ditetapkan melalui konsensus. Dengan demikian, upaya untuk mengutak-atik data akan sulit karena akan ditolak oleh node lain di dalam blockchain.

Mekanisme tata kelola blockchain ini juga mampu menghilangkan peran otoritas terpusat, meningkatkan transparansi, dan meminimalisir risiko penyalahgunaan. Kegunaan ini tentu bisa dijadikan sebagai alat bagi pihak-pihak yang memimpikan transparansi, anti-sensor, dan kebabasan.

Blockchain pun dinilai bisa menjadi solusi potensial untuk memerangi berbagai masalah sosial, termasuk potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Tak dipungkiri, adopsi blockchain saat ini semakin meningkat, seiring dengan berkembangnya proyek-proyek yang menggunakan teknologi ini. Bahkan, University of New South Wales (UNSW) Australia membuat riset, yang memperkirakan bahwa  70% pasar global akan bergantung secara langsung atau tidak pada sistem ini pada 2025.

Menurut studi berjudul ‘The Human Rights Risks and Opportunities in Blockchain yang dirilis Center of Strategic and International Studies (CSIS) pada Desember 2021, ada empat kasus utama yang banyak mengadopsi blockchain dalam sektor HAM. Kasus-kasus itu di antaranya distribusi rantai pasokan barang, pemungutan suara, identitas digital, dan hak kepemilikan tanah.


Kamu Bisa Baca Artikel Lain:

Pertentangan Dua Mazhab Komunitas Kripto (Bitcoin): Si Maksimalis Vs Minimalis

Para Penjaga Bitcoin dan Misi Satoshi Nakamoto


Kendati demikian, sistem blockchain dalam beberapa implementasinya justru dapat memperburuk atau menimbulkan risiko baru pelanggaran HAM secara universal.

Jurnalis dan aktivis teknologi Rebecca MacKinnon menegaskan, dalam sektor HAM, tidak ada teknologi atau inovasi yang mampu menyelamatkan umat manusia dari teknologi itu sendiri.

Hal itu disampaikannya saat teknologi mulai menggerogoti kehidupan manusia, mulai dari dukungan Facebook terhadap genosida di Myanmar, eksploitasi tenaga kerja oleh Uber dan Amazon, hingga informasi-informasi palsu di YouTube.
Menurutnya, blockchain mungkin bisa memberikan dampak lebih buruk dari itu.

“Blockchain memiliki potensi untuk menciptakan lapisan baru kontrak sosial global, di mana sesama manusia, yang berperan lebih dari pemerintah, adalah protagonis,” ujarnya, dikutip dalam essay How We Can Encode Human Rights In The Blockchain oleh Nathan Schneider.

MacKinnon mengungkap bahaya yang sudah mulai tampak, seperti penambangan kripto yang menguras bahan bakar fosil, penipuan skema ponzi yang menjerat para investor yang ingin kaya dengan cara instan, dan negara-negara jahat yang menggunakan kripto sebagai alat pembayaran untuk menimbun senjata.

Menurutnya, jika pengembang menyadari perlunya memasukkan kerangka kerja UN Guiding Principles on Business and Human Rights ke dalam pengembangan blockchain, teknologi ini sebenarnya dapat menjadi sarana yang lebih baik.

Blockchain dapat menegakkan hak-hak buruh, mendorong dekarbonisasi, dan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku kejahatan. Blockchain juga bisa menetapkan proses hukum yang adil dan sadar konteks.

Sistem seperti ini, menurut MacKinnon, suatu hari nanti bisa mengalahkan kekuatan militer tanpa harus melepaskan tembakan, meski blockchain sebenarnya tidak bisa menjadi solusi tunggal atas segala masalah pelanggaran HAM.

Dirusak Orang-orang Rakus

Ekosistem Ethereum, yang diciptakan Vitalik Buterin, telah berhasil menarik ribuan orang yang tidak memiliki rekening bank untuk bergabung dengan sistem keuangan terdesentralisasi. Di dalam ekosistem tersebut, modal bisa mengalir bebas, infrastruktur proyek dan sistem pembayaran tersedia, bahkan penelitian juga bisa dilakukan.

Blockchain Ethereum juga berfungsi sebagai alat yang efisien untuk mengamankan semua jenis aset, seperti aplikasi web, organisasi, produk keuangan, program pinjaman, bahkan surat wasiat. Masing-masing dapat dioperasikan oleh smart contract, kode yang dapat diprogram untuk melakukan transaksi tanpa memerlukan perantara.

Namun ternyata sembilan tahun lalu, Buterin memimpikan Ethereum bisa digunakan untuk banyak tujuan selain hanya sebagai sistem keuangan.

Melihat Ether, token asli Ethereum, telah menjadi kripto terbesar kedua setelah Bitcoin dan pasar kripto semakin berkembang, Buterin merasakan perasaaan yang campur aduk, antara bangga dan khawatir.

Dalam sebuah wawancara dengan Time pada Maret lalu, ia mengaku, kripto dan teknologi blockchain saat ini telah berjalan jauh dari apa yang ia impikan. Blockchain membuat segelintir orang menjadi sangat kaya, menambah polusi udara, dan dijadikan alat untuk menghindari pajak, pencucian uang, serta penipuan.

“Kripto memiliki banyak potensi distopia jika diterapkan secara salah,” ujar Buterin.

Buterin mengakui, kekuatan transformatif blockchain Ethereum yang menjadi akar dari visinya di dunia, berisiko dikalahkan oleh keserakahan manusia.

Dia ingin teknologi tersebut menjadi penyeimbang bagi pemerintah dan menjungkirbalikkan cengkeraman Silicon Valley yang mendominasi dunia digital sekarang.

Dalam impiannya, blockchain bisa dijadikan sebagai teknologi pendamping sosiopolitik, misalnya dalam sistem pemilu yang adil, penataan kota, proyek pekerjaan umum, termasuk memerangi pelanggaran HAM.

“Saya lebih suka Ethereum menyinggung beberapa orang daripada berubah menjadi sesuatu yang tidak berarti apa-apa,” katanya.