Para Penjaga Bitcoin dan Misi Satoshi Nakamoto

Share :

Portalkripto.com — Whitepaper Bitcoin dirilis pada Oktober 2008 oleh seorang pseudonym, Satoshi Nakamoto. Dokumen berjudul Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System tersebut menjadi sebuah sejarah penting bagi perkembangan industri kripto. Di mana Satoshi mengenalkan sistem keuangan ini karena ketidakpercayaan pada pengelolaan keuangan yang saat ini dikelola oleh bank central dan negara.

Tak lama dari peluncuruan whitepaper itu, sekitar dua bulan kemudian, pada 3 Januari 2009, Bitcoin diluncurkan oleh Satoshi yang menambang blok genesis pertama.

Krisis keuangan 2008 kemungkinan besar menjadi alasan utama ia membuat mata uang kripto ini. Satoshi tidak mendapatkan bantuan dana apapun untuk membangun Bitcoin dan dikabarkan telah menambang lebih dari 700.000 bitcoin yang masih tidak terpakai di blockchain sebelum dia menghilang pada 13 Desember 2010.

Bitcoin bernilai $0 selama hampir satu setengah tahun setelah diluncurkan. Para penambang telah menghabiskan uang untuk membeli hardware dan membayar listrik demi bisa menambang bitcoin, tanpa ada jaminan koin yang mereka terima akan memiliki nilai.

Namun saat ini, tidak ada kripto yang memiliki daya tarik dan telah diadopsi sebanyak Bitcoin. Nilai jaringannya berbanding lurus dengan jumlah node yang terus terhubung. Kini, dominasinya hampir setengah dari total kapitalisasi pasar crypto senilai $ 856 milyar (19 Juni 2022, Coinmarketcap).

Banyaknya node membuat blockchain semakin berharga. Popularitas dan keragaman ekosistem Bitcoin juga telah menarik perhatian banyak investor, pengembang, perusahaan besar, hingga negara-negara di dunia.

Rancangan teknologi berbasis blockchain yang digunakan Bitcoin hingga saat ini tidak pernah diretas. Dan, hampir 13 tahun sejak pendiriannya, jaringan Bitcoin tidak pernah down.

Secara total, Bitcoin telah berfungsi 99,98% dari masa pakainya dan menghasilkan blok demi blok dengan konsisten.

Meski demikian, mata uang kripto terbesar ini masih menghadapi masalah. Sebuah postingan blog di anatha.io mengungkapkan, jumlah daya yang dibutuhkan untuk membentuk blockchain Bitcoin melalui mekanisme konsensus proof-of-work (PoW), semakin tidak terkendali.

Jaringan Bitcoin dinilai belum bisa memfasilitasi jumlah transaksi harian, untuk bisa menjadi satu-satunya mata uang kripto yang bernilai.

Penggunaan Bitcoin juga masih terbatas. Blockchain ini tidak menyediakan mekanisme untuk membangun smart contract dan decentralized applications (dApps) seperti blockchain lain.

Mengingat sifatnya yang open-source, sejak peluncurannya pada 2009, Bitcoin juga banyak dikembangkan. Orang-orang mulai menyalin source kode Bitcoin dan melakukan perubahan-perubahan di dalamnya.

Penjaga Misi Suci Satoshi

Tak salah jika komunitas kripto menjuluki Bitcoin sebagai ‘dewa’. Aset digital ini merupakan yang pertama kali muncul dan menjadi standar yang mendasari seluruh mata uang kripto.

Kekuatan Bitcoin hingga saat ini tidak bisa juga dilepaskan dari andil komunitasnya yang sangat militan. Selain menjalankan sistem jaringan, komunitas Bitcoin setia menjaga kesucian BTC dari prinsip yang bersebrangan dengan misi Satoshi.

Bahkan, ada sekumpulan orang yang meyakini bahwa Bitcoin merupakan satu-satunya mata uang kripto yang bernilai dan satu-satunya aset yang penting serta layak digunakan dalam sistem keuangan digital dan terdesentralisasi. Cara ini dilakukan untuk menjaga misi dari Satoshi yang dituangkan dalam whitepapernya, 13 tahun silam.

Sekumpulan orang tersebut dikenal dengan disebut Bitcoin Maximalist.

Founder Kelas Bitcoin, Dea Rezkitha, yang juga seorang maximalist, mengatakan Bitcoin Maximalist merupakan orang-orang yang hanya fokus terhadap Bitcoin karena telah memiliki pemahaman lebih usai melakukan analisa mendalam terhadap aset kripto lainnya.

Mereka yakin, hanya Bitcoin yang sesuai dengan konsep terdesentralisasi dan mengusung sifat anti-censorship, scarcity, dan immutability. Desentralisasi merupakan kunci utama dari mata uang ini.


Kamu Bisa Baca Artikel Lainnya:

Tak ada yang Lebih Banal Dari DOGE, Lelucon Bernilai Puluhan Milyar Dollar

Pertentangan Dua Mazhab Komunitas Kripto (Bitcoin): Si Maksimalis Vs Minimalis

BTC dan ETH Berada di Zona Oversold, Apa Artinya?


Satoshi Nakamoto, pendirinya, telah mendesain Bitcoin untuk menjadi alat peer-to-peer payment terdesentralisasi yang bisa digunakan di seluruh dunia. Seluruh transaksinya tidak bisa dihentikan atau diputus secara sepihak oleh entitas sentral.

“Tidak ada satu entitas pun yang bisa memanipulasi harga bitcoin hingga benar-benar hilang,” jelas Dea kepada portalkripto.com.

Penganut prinsip Bitcoin Maximalism menganggap mata uang kripto lainnya telah ‘menghianati’ misi yang dibawa Satoshi Nakamoto. Menurut Dea, altcoin-altcoin itu selalu mengklaim terdesentralisasi, tetapi pada praktiknya tidak.

Bisa dipastikan, ujarnya, koin-koin yang berada di bawah pengelolaan perusahaan memiliki risiko untuk ambruk tanpa bisa menjamin dana milik investornya. Hal ini sudah terbukti dengan kejatuhan jaringan Terra yang membuat investor LUNA dan UST gigit jari karena nilainya sudah terkuras setelah kehancuran jaringan

Sedangkan dari segi risiko, Bitcoin akan sangat sulit untuk jatuh mengingat ada jutaan node yang menopang. Dea menegaskan, penambangan Bitcoin yang dirancang Satoshi sangat demokratis atau bisa dilakukan oleh siapapun.

“Cina merupakan miner terbesar Bitcoin dan ada kabar pemerintah Cina akan melarang aktivitas mining. Tetapi walaupun Cina offline, mining akan tetap berjalan tanpa gangguan karena masih banyak miners lain di dunia,” katanya.

Sebagai mata uang kripto tertua di dunia, Bitcoin menjadi yang paling banyak digunakan sehingga tentu jaringannya menjadi yang paling kuat jika dibandingkan dengan blockchain lain.

Meski demikian, Dea juga mengakui nilai Bitcoin tidak selalu tinggi karena adanya siklus penurunan empat tahunan. Satu hal penting yang menurutnya harus diketahui masyarakat adalah Bitcoin dibeli untuk tujuan saving, bukan investasi.

Ia mencontohkan bagaimana Ukraina masih bisa bertahan saat mendapatkan sanksi dari Barat. Negara itu sudah memanfaatkan kripto untuk melakukan transaksi ketika mata uang fiat tidak bisa digunakan.

Berawal dari Sindiran

Ideologi yang mendewakan Bitcoin sudah ada sejak 2011, namun saat itu tidak ada istilah yang merepresentasikannya. Istilah Bitcoin Maximalist baru dicetuskan oleh mantan penggemar Bitcoin, yakni pendiri Ethereum Vitalik Buterin pada 2015.

Istilah ini awalnya merupakan sebuah istilah sarkas untuk menyindir para pemuja Bitcoin yang memandang sebelah mata koin kripto lain. Bukannya dibenci, istilah itu justru menjadi populer di kalangan ‘bitcoiner’ murni dan akhirnya menjadi ‘mahzab’ mereka.

Paham Bitcoin Maximalism dinilai benar-benar cocok dengan pandangan mereka sehingga yang awalnya berkonotasi negatif, kini memiliki konotasi sebaliknya.

Pengembang Bitcoin, Hal Finney, pada 2011 membuat pernyataan yang menjadi kekuatan di balik ideologi itu. Ia mengatakan mata uang apapun yang didesain untuk menggantikan posisi bitcoin akan menghancurkan legitimasi sistem moneter.

Menurutnya, mata uang kripto lain akan terus muncul untuk bersaing, namun mereka tidak bisa mengklaim sebagai mata uang terbaik karena nilai asetnya yang lebih rendah.

Situasi semacam itu, kata dia, akan menggoyakan kepercayaan semua orang. Tentu saja orang-orang akhirnya tidak akan percaya terhadap altcoin dan enggan berinvestasi.

Terus munculnya altcoin yang bertujuan untuk mengalahkan Bitcoin membuat para Maximalist merasa harus bertindak defensif. Mereka memilih untuk terus mengedukasi pendatang baru di dunia kripto untuk mencegah mereka mengalami kerugian finansial.

Kebanyakan pendatang baru ‘bermain’ dengan kripto dengan tujuan untuk memperoleh kekayaan dengan cepat, bukan tertarik dengan revolusi keuangan, apalagi terhadap teknologi blockchain.

Tokoh Bitcoin Maximalist

Mantan CEO Twitter Jack Dorsey percaya bahwa suatu hari Bitcoin dapat menggantikan dolar AS untuk menjadi mata uang masa depan. Dan ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mewujudkan hal itu.

Dorsey bisa dibilang merupakan Bitcoin Maximalist paling populer saat ini. Tak main-main, ia bahkan tengah merancang Web5, platform web extra desentralisasi, di atas blockchain Bitcoin.

Bagi Dorsey, Bitcoin menawarkan solusi potensial bagi sistem keuangan global. Mata uang ini memiliki konsep yang kuat untuk dapat diakses oleh semua orang, bersifat terdesentralisasi, dan tidak dapat dikendalikan oleh entitas tunggal manapun.

Bitcoin Maximalist lainnya yang percaya bahwa seseorang tidak membutuhkan koin kripto lainnya jika memiliki Bitcoin adalah Jimmy Song. Jimmy merupakan seorang programmer dan pengusaha yang telah menelurkan beberapa buku tentang Bitcoin, di antaranya Programming Bitcoin from O’Reilly, The Little Bitcoin Book, Thank God for Bitcoin, dan BItcoin and the American Dream.

“Mereka yang sejalan dengan Bitcoin akan bertahan dan berkembang. Mereka yang tidak, akan menghilang dalam diam,” ungkapnya di Twitter pada 2018.

Masih ada banyak nama lagi. Sebut saja Saifedeam Ammous, profesor ekonomi, penulis buku The Bitcoin Standard; CEO of Micro Strategy Michael Saylor; pendiri Gemini, si kembar Tyler dan Cameroon Winklevoss; dan lainnya.

Sementara di Indonesia, Bitcoin Maximalist memiliki wadah untuk bertukar pikiran yang bernama Indonesia Bitcoin Community. Komunitas ini secara rutin mengedukasi masyarakat mengenai dunia kripto, terutama Bitcoin.

Beberapa tokohnya yang populer selain Dea Rezkitha, di antaranya Co-founder Indonesia Bitcoin Community Pratiwi Gunawan, Co-founder CryptoWatch Danny Taniwan, hingga founder Ada Apa Dengan Bitcoin Hansen Malau.