Operation Choke Point 2.0: Bagaimana AS Sabotase Industri Kripto

Share :

Portalkripto.com — Sebelum ia datang, tahun 2023 sudah diramal akan menjadi tahun regulasi bagi pelaku industri kripto global. Kebobrokan FTX yang menggunakan dana klien untuk belanja operasional, membuat mata regulator semakin awas memelototi arena sirkus bisnis aset digital yang diprakarsai kelahiran Bitcoin (BTC) ini.

Tanda halus ihwal pengetatan regulasi terhadap kripto ini sudah muncul di awal tahun. Saat itu, narasi bahwa dinamika yang terjadi di jagat kripto mirip dengan pergolakan di era wild west, masa-masa ketika hukum rimba ala koboi berkuasa di Amerika Serikat (AS)–yang mencuat setelah kejatuhan Terra Luna pada Mei 2022–kembali direproduksi.

Pengacara spesialis web3, Mike Selig, memprediksi pengetatan regulasi kripto ini bakal menjadi panorama lumrah yang mungkin terjadi sepanjang tahun 2023. Regulator AS, terutama Securities and Exchange Commission (SEC) dan Commodity Futures Trading Commission (CFTC), bakal menjadi leading sector komisi pemberantasan kripto.

“SEC hampir menggandakan ukuran tim penegakan aset kripto pada awal 2022 dan kemungkinan akan terus meregulasi dengan penegakan pada tahun 2023,” tulis Selig dalam kolom opininya di Coindesk.

Sebelumnya, pada 2022, SEC melakukan penambahan armada sejumlah 20 orang. Penambahan dilakukan untuk semakin menggenjot upaya penegakan hukum terhadap pelaku industri kripto yang masih sangat sedikit diatur pemerintah Paman Sam.

Penambahan armada yang terjadi pada 3 Mei–tiga hari sebelum parade kejatuhan Terra Luna dimulai pada 6 Mei–ini, menemukan momentumnya untuk beraksi lebih trengginas memasuki akhir tahun 2022, saat bursa FTX tiba-tiba runtuh dalam drama singkat yang berlangsung sekitar tiga hari.

Kejatuhan FTX ini menjadi awal mula genderang perang regulator AS terhadap pelaku industri kripto ditabuh. Setelahnya, kebijakan demi kebijakan yang mencukur gundul industri kripto diterbitkan. Saking ganasnya kebijakan yang dibikin, sampai-sampai membuat sejumlah proponen di lingkaran komunitas kripto menjulukinya sebagai Operation Choke Point 2.0.

Operation Choke Point adalah suatu inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah AS di bawah administrasi Presiden Obama pada tahun 2013 yang diinisiasi Department of Justice (DOJ) dan diikuti sejumlah lembaga lain seperti Department of the Treasury serta Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC). Tujuan dari operasi ini adalah untuk mengurangi akses perusahaan-perusahaan yang dianggap berisiko tinggi, seperti perusahaan yang terlibat dalam sektor senjata, pornografi, obat-obatan terlarang, perjudian, dan lainnya, terhadap layanan perbankan dan pemrosesan pembayaran.

Operasi ini bertujuan untuk menghentikan atau membatasi hubungan bisnis antara lembaga keuangan dan jenis bisnis yang dianggap kontroversial atau meragukan, dengan harapan dapat mengurangi aktivitas ilegal atau meragukan yang terkait dengan bisnis-bisnis tersebut.

Operasi ini dihentikan pada tahun 2017 setelah menuai serangkaian kontroversi. Choke Point dianggap sebagai campur tangan pemerintah dalam urusan bisnis dan berpotensi merugikan perusahaan-perusahaan yang sah. Banyak yang mengkritik bahwa operasi ini dapat mengakibatkan diskriminasi terhadap jenis bisnis tertentu tanpa proses hukum yang adil.

Co-Founder CoinMetrics sekaligus Founding Partner pemodal blockchain Castle Island Ventures, Nick Carter, dalam catatannya membeberkan bagaimana dan kapan Operation Choke Point jilid kedua tersebut terjadi. Menurutnya, operasi senyap ini dimulai pada 6 Desember, saat tiga senator AS, termasuk Elizabeth Warren, mengirim surat ke bank ramah kripto, Silvergate (kini sudah tutup). Warren dan dua rekannya marah-marah kepada Silvergate lantaran bank itu gagal gagal melaporkan aktivitas mencurigakan terkait dengan FTX dan Alameda Research, perusahaan saudara FTX yang juga bermasalah.

Sehari setelahnya, bank ramah kripto lain, Signature (kini sudah tutup) mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi eksposur dananya dengan perusahaan kripto hingga lebih dari setengahnya dari $23,5 miliar saat puncak, menjadi sekitar $8 miliar hingga $10 miliar. Setelahnya, sejumlah regulator dari berbagai badan silih berganti mengeluarkan imbauan agar perbankan menjauhi industri kripto, melarang perbankan memiliki aset kripto, peringatan kepada penerbit stablecoin, hingga menolak bank ramah kripto masuk ke dalam sistem bank federal AS.

“Secara ringkas, bank-bank yang menerima deposito dari klien kripto, mengeluarkan stablecoin, melakukan penyimpanan kripto, atau berencana untuk memiliki kripto sebagai prinsipal menghadapi tekanan yang signifikan dari regulator dalam beberapa pekan terakhir,” tulis Carter.

Penutupan mendadak Signature pada 12 Maret oleh regulator, juga dinilai menjadi bagian dari operasi sabotase meskipun sudah dibantah oleh regulator.Signature ditutup dua hari setelah keruntuhan Silicon Valley Bank dan empat hari setelah Silvergate Bank. Ketiganya merupakan bank ramah kripto dan tutup dalam waktu berdekatan.

Carter sendiri menyatakan Choke Point 2.0 yang menyasar kripto ini berbeda dengan pendahulunya. Bila Choke Point 1.0 dinilai kurang terkoordinasi, informal, dan menjadikan ancaman investigasi sebagai senjata utamanya, maka Choke Point sudah lebih rapi dan sistematis.

“Di 2.0, semuanya terjadi dengan jelas dan terbuka, dalam bentuk pembuatan cara main, panduan tertulis, dan blog. Tindakan keras [terhadap] kripto saat ini dijual sebagai masalah “keamanan dan kesehatan” bagi bank, dan bukan hanya masalah risiko reputasi.”

Strategi Pelabelan Sekuritas

Operasi pemberantasan kripto yang dijalankan regulator ini tak cuma dengan sabotase halus perbankan. Lebih dari itu, regulator juga menertibkan sejumlah produk aset kripto yang diterbitkan di AS dengan membingkainya sebagai sekuritas.

Pembingkaian kripto sebagai sekuritas ini menjadi strategi utama SEC dalam menertibkan perusahaan dan produk aset digital. Komisi pemberantasan kripto tersebut sampai saat ini telah memerintahkan sejumlah pelaku industri kripto untuk berhenti menjual produk atau menerbitkan aset kripto mereka.

Langkah yang dilaporkan terjadi di tengah semakin tajamnya sorotan mata regulator AS terhadap pelaku industri kripto. Beberapa pelaku industri sudah terkena getah dari upaya pengetatan kebijakan kripto di AS sampai sejauh ini.

Bursa Kraken misalnya, dipaksa menghentikan fitur staking di platformnya dan dikenakan denda $30 juta pada Februari lalu. Selang beberapa hari, giliran Paxos yang merupakan penerbit stablecoin Binance USD (BUSD) juga dipaksa menghentikan penerbitan BUSD anyar oleh regulator. Fitur staking dan BUSD dinilai sebagai sekuritas tak terdaftar oleh SEC.

SEC juga mengeluarkan Wells Notice untuk bursa Coinbase yang berisi peringatan potensi pelanggaran undang-undang sekuritas AS pada akhir Maret. Sebelumnya, pada Januari lalu, Gemini dan Genesis (kini sudah tutup) lebih dulu dituding melakukan penjualan sekuritas tak terdaftar melalui program peminjaman aset kripto Gemini Earn.

Di luar upaya ‘sekuritasisasi’ kripto yang masif sejak awal 2023, SEC juga masih terlibat perang litigasi sengit dengan Ripple Labs selaku penerbit koin XRP. Perang hukum yang telah berjalan lebih dari dua tahun ini juga memperkarakan XRP yang disebut sebagai sekuritas.

Ketua SEC, Gary Gensler, berargumen bahwa seluruh aset kripto kecuali Bitcoin, dapat didefinisikan sebagai sekuritas. Belakangan New York Attorney General (NYGA) juga mendefinisikan Ether (ETH) sebagai produk sekuritas.

Tak cuma menyasar industri yang berkantor di AS, upaya sapu jagat ini juga menimpa seluruh pelaku industri kripto tanpa kecuali. Darkweb kripto asal Rusia, Bitzlato, ditutup paksa dan pemiliknya, Anatoly Legkodymov, dicokok DoJ pada Maret lalu. Baru-baru ini, CFTC juga melayangkan rangkaian tudingan hukum terhadap bursa kripto terbesar di dunia, Binance.

Upaya agresif SEC dalam menertibkan industri kripto via jalan penegakan alih-alih pendampingan mendapat kritik dari komisionernya sendiri. Komisioner SEC, Hester Peirce, menyatakan tidak setuju dengan langkah yang ditempuh lembaganya dalam mendefinisikan staking sebagai produk sekuritas.

Peirce menilai SEC lebih suka bertindak dengan pendekatan penegakan hukum ketimbang membantu investor dengan menerbitkan panduan yang jelas agar pelaku industri dapat mengikuti aturan regulator.

“Penegakan hukum untuk memberi tahu orang-orang tentang hukum dalam industri yang sedang berkembang bukanlah cara pengaturan yang efisien atau adil.” kata dia.

Bagaimana Pelaku Industri Bereaksi?

Berbagai upaya penertiban yang dilakukan regulator ini direspon berbeda-beda oleh para pelaku industri. Ada yang malah manut atau bahkan gulung tikar, ada juga yang berusaha melawan. Selain Kraken dan Paxos yang sejauh ini lebih manut, ada bursa Bittrex yang mengumumkan tidak lagi beroperasi di AS pada akhir Maret.

Beberapa di antaranya melakukan perlawanan, seperti Ripple yang telah berjuang di pengadilan lebih dari dua tahun melawan SEC. Coinbase sebelumnya juga menyatakan diri siap melawan upaya SEC. Sementara Binance, menyangkal semua tudingan yang dilayangkan CFTC.

Selain perlawanan hukum, bursa-bursa di AS juga tengah menyiapkan exit plan untuk keluar dari Negeri Paman Sam bila iklim regulasi di sana tak lagi dapat ditolerir. Coinbase dan Gemini dilaporkan berencana membuka operasi layanan platform di luar negeri. Sementara Ripple, membuka kemungkinan angkat kaki dari AS bila kalah dalam persidangan melawan SEC.

CEO firma analitik kripto Kaiko, Ambre Soubiran meyakini langkah dingin yang ditempuh regulator AS ini akan membuat status mereka sebagai episentrum industri kripto terkikis. Kemungkinan, pusat industri kripto global menurutnya akan pindah ke Hong Kong.

“Karena sikap Amerika Serikat yang semakin ketat terhadap mata uang kripto dan ekosistem regulasi Hong Kong yang lebih menguntungkan, mungkin ada pergeseran nyata titik fokus perdagangan mata uang kripto menuju Hong Kong,” kata Soubiran.

Hong Kong sendiri belakangan ini mulai membuka diri pada industri kripto belakangan ini salah satunya karena mereka berambisi untuk menjadi episentrum kripto global. Pada Desember 2022, anggota parlemen di Hong Kong menyetujui undang-undang untuk menetapkan kerangka kerja lisensi bagi perusahaan yang menawarkan layanan aset virtual.

Rencana pelonggaran restriksi kripto di Hong Kong ini langsung disambut hangat pelaku industri kripto. Beberapa bursa, seperti Huobi, OKX, Bitmex, Bybit, langsung menunjukkan minatnya untuk membuka cabang  di Hong Kong.